Sabtu, 07 Maret 2009

1. Soal Penyusunan RPP Pendidikan Keagamaan

SUARA PEMBARUAN DAILY

Soal Penyusunan RPP Pendidikan Keagamaan


Negara Jangan Belenggu Pengelolaan Pendidikan Keagamaan
JAKARTA - Departemen Agama dan Depdiknas yang saat ini tengah menggodok

Rancangan Peraturan Pemerintah Pendidikan Keagamaan (RPP Pendidikan

Keagamaan) yang senapas dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (Sisdiknas) hendaknya arif dan bijaksana dalam

menempatkan penyelenggaraan pendidikan keagamaan di Indonesia.

"Masuknya secara eksplisit madrasah dan pesantren dalam UU Sisdiknas

hendaknya tidak dijadikan komoditas bagi pemerintahan untuk mengatur

penyelenggaraan dan pengelolaannya," ujar pakar pendidikan Dr Muhamad Ridwan

kepada Pembaruan di Jakarta, Jumat (13/2) .

Sementara itu, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, Fuad Fanani, melihat

hegemoni negara kembali tercermin dalam RPP Pendidikan Keagamaan. "RPP itu

hampir sama dengan UU Sisdiknas dan RUU Kerukunan Umat Beragama. Betapa

kentalnya intervensi negara dalam kehidupan publik. Padahal, negara

seharusnya menumbuhkan kesadaran kritis bukan membelenggu," ujarnya.

Dikatakan, Depag dan Depdiknas harus mampu melakukan dialog dengan semua

komponen, sehingga produk PP tidak lagi mendapat perlawanan dan resistensi

begitu besar di tengah masyarakat seperti UU Sisdiknas. "Teman-teman JIMM

siap bergabung dengan komponen lainnya menentang setiap bentuk hegemoni

negara kepada masyarakat," katanya.

Menurut Muhamad Ridwan, di samping menempel dalam pasal-pasal tentang

jenjang pendidikan yang salah satunya menyebut madrasah dan pesantren

tercantum dalam satu pasal khusus, diatur oleh Departemen Agama, hendaknya

hal ini tidak diimplementasikan mengatur secara administratif oleh negara.

Dalam naskah UU Sisdiknas, pendidikan keagamaan diatur pada pasal 26 yang

secara eksplisit menyebut jenis pendidikan keagamaan Islam. Di samping itu,

dimasukkan secara eksplisit nama madrasah sesuai dengan jenjangnya dalam

pasal-pasal yang menyebutkan nama suatu jenjang pendidikan.

"Peraturan Pemerintah tersebut berlaku untuk semua warga negara tanpa

membedakan agama, tentunya akan lebih bijaksana untuk tidak mencantumkan

secara eksplisit ketentuan-ketentuan yang sangat spesifik menunjuk agama

tertentu. Jangan sampai terkesan negara membelenggu pendidikan keagamaan.

Atau bila hal tersebut memang sangat diperlukan untuk memberikan kepastian

hukum terhadap jenis dan jenjang pendidikan yang berciri khas agama

tertentu, akan lebih baik jika jenis dan jenjang sekolah yang sangat khas

yang diselenggarakan oleh pemeluk masing-masing agama dapat dicantumkan

semua," ujarnya.

Ditegaskan UU Sisdiknas sesungguhnya sudah cukup mengakomodasikan pendidikan

keagamaan sehingga pencantuman nama jenjang sekolah yang sangat spesifik,

menunjuk kepada jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh pemeluk agama

tertentu menjadi tidak perlu. Namun, dalam RPP sebaiknya Depag dan Depdiknas

tidak lagi mengatur secara khusus sehingga membuat pesantren atau sekolah

pendidikan keagamaan merasa terkooptasi oleh negara.

Dijelaskan, sejak dahulu dan kemudian berlanjut sampai sekarang secara sadar

kita semua mengalami kekacauan dalam tata nama jenjang pendidikan pada jalur

pendidikan sekolah. Sebelum UU No 2 Tahun 1989 dan Wajib Belajar Pendidikan

Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun diberlakukan, Pemerintah menamai jenjang

pendidikan terendah sebagai sekolah dasar (SD), kemudian jenjang berikutnya

sekolah menengah pertama (SMP), lalu Sekolah Menengah Atas (SMA) dan

nama-nama khusus bagi sekolah menengah kejuruan.

Dalam perkembangannya, setelah UU No. 2 tahun 1989 dan Wajar Dikdas

diberlakukan, nama SMP diubah menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

(SLTP), SMA menjadi Sekolah Menengah Umum (SMU), dan sekolah-sekolah

kejuruan cukup dengan nama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Walaupun dasar penggantian nama SMP menjadi SLTP adalah karena SMP merupakan

bagian dari pendidikan dasar, nama baru ini tetap mencerminkan kekacauan

berpikir karena nama SLTP mengesankan adanya jenjang di atasnya yang bernama

SLTK (Sekolah Lanjutan Tingkat Kedua) dan seterusnya. Mestinya, nama yang

tepat adalah Sekolah Dasar Lanjutan (SDL) yang menunjukkan dengan jelas

kedudukan jenjang pendidikan tersebut dalam sistem pendidikan nasional kita.

Anehnya, dalam naskah UU Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD),

Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau yang sederajat yang terdiri atas enam tingkat

(pasal 17 ayat 2), kemudian Pendidikan menengah tingkat pertama berbentuk

Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau yang

sederajat dan 'Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs)

terdiri atas tiga tingkat' (Pasal 19 ayat 2 dan 3). Berikutnya, dalam pasal

20 ayat 3 disebutkan bahwa 'Pendidikan menengah umum berbentuk Sekolah

Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA)', dan pada ayat 4 'Pendidikan

menengah vokasional berbentuk Sekolah Menengah Vokasional (SMV)'. (E-5)

sumber: http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Soal-Penyusunan-RPP-Pendid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar