Rabu, 20 Mei 2009

JURNAL MANAJEMEN PENDIDIKAN


SISTEM PENGUASAAN SEORANG SISWA UNTUK MENGUKUR SEBERAPA BESAR KEIKUTSERTAAN DALAM DISKUSI KELAS
Walaupun telah di praktekkan secara luas di dalam pendidikan manajemen, penilaian keikutsertaan siswa di dalam diskusi kelas telah di keritik oleh para peneliti: seorang instruktur secara serempak mengambil dua tugas kelas diskusi dan mengevaluasi partisipasi siswa; para siswa hanya bermain pada poin daripada memfokuskan pada belajar; dan penilaian umum, rencana penilaian yang dilakukan instruktur tidak memotivasi para siswa dengan merata. Artikel ini mengusulkan suatu sistem penilaian yang menunjuk pada tiga perhatian ini. Sistem yang diusulkan memberi para siswa umpan balik panduan di dalam daerah keikutsertaan di dalam diskusi kelas memungkinkan instruktur untuk fokus dalam membuat peluang belajar di dalam kelas. Sistem penilaian yang diusulkan, dengan keandalan yang melebihi. 80, dapat dengan mudah dimodifikasi oleh instruktur individu untuk menyesuaikan gaya pengajaran mereka.
Kata Kunci : partisipasi kelas; panduan evaluasi; penguasaan siswa; penilaian keikutsertaan
Partisipasi di diskusi kelas, disebut juga sebagai partisipasi diskusi selanjutnya, adalah salah satu alat pendidikan umum di dalam pendidikan manajemen(Litz, 2003). Termasuk mendengarkan dengan seksama, ikut serta dalam sebuah isu, pidato untuk mempertahankan suatu posisi, dan menanyakan logika siswa lain(Desiraju & Gopinath, 2001). Partisipasi diskusi mengizinkan siswa untuk mengalami perspektif yang berbeda dan proses ceramah demokratis dan untuk mengembangkan kemampuan sintesis, integrasi dan komunikasi(Brookfield & Preskill, 1999, pp.22-23). Dibandingkan dengan siswa didalam kelas ceramah, siswa yang berpartisipasi aktif mendapatkan banyak informasi setelah akhir dari kursus(McKeachie, 1994) dan merasa lebih puas dengan dengan kursus(Serva & Fuller 2004).
Sebuah survey manajemen terbaru dari merekrut organisasi mengenali komunikasi dan kemampuan antar pribadi sebagai atribut nomor satu siswa yang perekrut lihat ketika akan memperkerjakan lulusan sekolah bisnis(Alsop, 2004). Mempertimbangkan penekanan yang kuat yang ditempatkan perekrut “efisien dan efektif” komunikasi (Smith, 1994, p. 238), sebagian besar dari instruktur manajemen, dan hampir 95% tentang kebijakan bisnis/strategi instruktur manajemen(Alexander, O’Neill, Snyder, & Townsend, 1986), termasuk partisipasi diskusi sebagai komponen penilaian siswa.
Di samping penggunaan yang tersebar luas, jasa keikutsertaan diskusi di perdebatkan. Gilson (1994) mengkritik penilaian partisipasi dalam diskusi untuk tiga alasan: Pertama, itu memaksa instruktur untuk mengambil dua pada dasarnya peran yang bertentangan secara serempak: peran yang mendukung menciptakan peluang belajar di dalam kelas, dan peran keikutsertaan penilaian yang evaluatif setiap kali seorang siswa menyatakan secara lisan pemikirannya. Di dalam proses tersebut, itu dapat menguatkan suatu puncak/menurun, kultur pembawaan instruktur di kelas tersebut. Kedua, siswa mulai berpartisipasi untuk mendapatkan poin (mendapatkan perhatian instruktur dengan mengatakan apa yang ada di pikirannya) daripada memfokuskan untuk mendapatkan pengetahuan. Ketiga, kebanyakan instruktur menggunakan rencana penilaian partisipasi yang sama kepada setiap siswa di dalam kelas. Buruknya, partisipasi diskusi sangat jarang tertanam di dalam tubuh siswa. Secara umum, siswa internasional, siswa lokal dari latar belakang suku yang berbeda, dan siswa dengan kepribadian pasif berpartisipasi lebih sedikit. Siswa perempuan juga sangat sedikit berpartisipasi dalam “bertarung di depan umum” diskusi (Gilson, 1994, p. 229). Digambarkan dari teori yang diharapkan, Gilson (1994) berargumentasi bahwa instruktur seharusnya memikirkan rencana penilaian yang akan dihitung dari perbedaan individual. 
Artikel ini mengusulkan sebuah sistem untuk mengukur dan menimbang partisipasi diskusi yang menunjuk sebagian kritik yang ditingkatkan oleh Gibson (1994). Di dalam sistem yang diusulkan, siswa adalah penilai utuma dari sebuah partisipasi diskusi pada basis sehari-hari. Walaupun instruktur sebetulnya seseorang yang paling berkualitas untuk mengukur partisipasi diskusi, sistem yang memusat pada instruktur dalam penilaian partisipasi diskusi tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami bagaimana panutan mereka dirasakan. Ini adalah penghilangan yang sangat penting, yang diberi masukan panutan telah memperoleh pekerjaan yang telah selesai menggunakan regu fungsi menyilang (Toegel & Conger, 2003). Sistem yang diusulkan di dalam artikel ini sesuai dengan kursus yang menawarkan peluang dari partisipasi diskusi kelompok yang sangat besar di dalam kebanyakan sesi kelas, termasuk kelas ceramah kuliah. Instruktur yang tidak merasa nyaman memfasilitasi sebuah diskusi ketika mengevaluasi partisipasi diskusi akan diuntungkan kebanyakan dari pendekatan struktur, termasuk siswa penilai.
Sisa dari artikel akan dibagi menjadi tiga sesi. Sesi pertama meninjau ulang literatur: siapa, apa, dan bagaimana penilaian partisipasi diskusi. Sesi kedua mendeskripsikan detail dari sistem yang diusulkan, membenarkan ke efektifannya, dan menyarankan beberapa variasi. Artikel itu menyimpulkan dengan mempertimbangkan sebagian pembatasan dari sistem yang diusulakan.

Peninjauan Literatur
Gilson(1994) pertama kali mengkritik penilaian partisipasi diskusi, yang instruktur sebagai penilai utama, membangkitkan isu yang fundamental: siapa yang harus melakukan penilaian? Kritik keduanya adalah, siswa hanya mengincar poin daripada belajar, berhadapan dengan isu yang lebih luas: apa yang harus dinilai? Kritik terakhirnya membangkitkan isu lain: bagaimana seharusnya rencana penilaian partisipasi diskusi disesuaikan kedalam penghitungan pembedaan individu? Setiap dari isu ini ditujukan pada gilirannya di dalam bagian berikut.

Siapa yang seharusnya melakukan penilaian?
Gilson(1994) mengkritik penilaian partisipasi diskusi sebagian karena kebanyakan rencana instruktur adalah bawaan instruktur. Ada dua alternatif untuk pindah dari pendekatan yang memusat pada instruktur: penilaian sendiri atau masukan panutan. Sebuah meta-analisis diselenggarakan oleh Falchikov dan Boud (1989) menemukan korelasi sekitar .39 antara penilaian instruktur dan penilaian sendiri siswa. Bagaimanapun, korelasi antara instruktur dan nilai panutan adalah yang paling kuat. Berdasarkan data mencakup tujuh kursus psikologi salama periode 4 tahun, Melvin (1988) menemukan bahwa korelasi antara instruktur dan panutan yang dinilai bergerak dari .83 ke .90. Sebuah replika dari yang dipelajari Melvin’s (1988) dengan lima kursus akuntansi menciptakan korelasi tentang sesuatu yang serupa (Lord & Melvin, 1994). Pembelajaran Gopinath’s (1999) menemukan moderat untuk dukungan yang lemah untuk korelasi antara instruktur dan penilaian panutan (koefisien persetujuan berkisar antara . 24 untuk . 49). Bagaimanapun, 46% dari salah satu contoh siswa Gopinath’s tidak merasa nyaman untuk menyelesaikan evaluasi panutan, dan ketidaknyamanan ini mungkin telah berkontribusi kepada seluruh dukungan yang lemah.
Mempertimbangkan bahwa korelasi instruktur dan nilai panutan lebih besar daripada yang antara nilai instruktur dan penilaian diri, menggunakan masukan panutan mungkin akan lebih akurat dan sesuai daripada membiarkan siswa melakukan penilaian terhadap diri mereka sendiri. Bersamaan dengan masukan dari tiap-tiap siswa sepanjang keadaan dalam suatu semester juga berubah-ubah, instruktur mendasarkan sistem menjadi sistem penilai ganda. Penggunaan masukan input untuk partisipasi diskusi seharusnya tidak menjadi sebuah kejutan bagi siswa karena evaluasi masukan digunakan di daerah lain, seperti penilaian dokumen, penilaian pekerjaan kelompok, dan pemilihan kandidat untuk penghargaan siswa (Ghorpade & Lackritz, 2001).
Tidak ada data yang spesifik untuk menunjukkan apakah nilai partisipasi diskusi dipengaruhi oleh faktor seperti popularitas siswa diantara panutan, kemampuan, ras, dan kesukuan; bagaimanapun, ada bukti yang mengindikasikan bahwa nilai panutan dari presentasi di kelas dapat tidak memihak. Sebagai contoh, Ghorpade
and Lackritz (2001) tidak menemukan sebuah kecendrungan di sebagian siswa untuk menyukai siswa dari kelompok mereka sendiri (jenis kelamin dan suku); dan Sherrard, Raafat, dan Weaver (1994) menemukan bahwa variabel demografis tidak memihak proses penilaian panutan.

Apa yang harus dinilai?
Ada dua ukuran utama untuk mengukur diskusi partisipasi: kuantitas dan kualitas. Mengukur kuantitas, berapa pendapat yang dibuat oleh siswa, relatif lebih mudah dan telah digunakan untuk mengukur pembelajaran empiris yang utama (e.g., Arbaugh, 2000; Auster & MacRone, 1994). Bagaimanapun, bagaimana mengukur kualitas? Berdasarkan tinjauan ulang literatur yang luas, Reeves
Dan Bednar (1994) menyimpulkan bahwa difinisi universal dari kualias tidak ada; melainkan “perbedaan definisi dari kualitas adalah sesuai dalam keadaan yang berbeda” (p. 419). Didalam daerah diskusi partisipasi , Gioia (1974) mengusulkan sebuah pertanyaan tes lakmus untuk menentukan kualitas: “apakah sebuah pendapat siswa berkontribusi untuk....memahami panutan sebuah konsep di dalam diskusi?” (p.16). Sebuah contoh pribadi yang tidak relevan, sebuah observasi dangkal, atau sebuah pendapat yang tidak bijaksana berpartisipasi tanpa kontribusi. Untuk menakut-nakuti siswa agar tidak bermain dalam poin, Gioia menyarankan bahwa instruktur tidak menghitung partisipasi tanpa kontribusi.
Meskipun siswa penilai akan menilai kualitas dan kuantitas dari sebuah partisipasi diskusi, sang instruktur tetap menjadi fasilitator utama dalam partisipasi diskusi. Barnes (1983) mencatat bahwa 82% dari pertanyaan yang ditanya oleh instruktur perguruan tinggi berada pada teori yang paling rendah. Itu tidak mungkin bahwa pertanyaan teori rendah akan menciptakan diskusi bermutu tinggi. Pembelajaran ilmu bentuk tubuh Bloom’s (1956) adalah salah satu instrumen untuk mempromosikan cara berpikir yang lebih tinggi antar para siswa (lihat Athanassiou, Mcnett,& Harvey, 2003, untuk suatu aplikasi yang sempurna). Mempertimbangkan sebuah set pertanyaan yang menjadi meningkat menjadi kompleks seperti pembelajaran ilmu bentuk tubuh Bloom’s(1956). Apakah tiga tingkatan strategi(pengetahuan) bisnis? Apa tingkatan strategi bisnis yang digunakan di sekolahmu(pengertian)? Risiko apa yang akan dihadapi sekolahmu tehadap tingkatan strategi bisnis yang dipilih (analisa)? Dari semua risiko yang dihadapi oleh sekolahmu mengacu pada tingkatan strategi bisnis tersebut, yang mana yang paling terkemuka (aplikasi)? Apa rencana tindakan yang akan diikuti sekolahmu untuk meminimalisir risiko tingkatan bisnis(sintesis)? Jika dua orang siswa datang dengan dua rencana tindakan yang berbeda seperti mereka menjawab pertanyaan terakhir ini, yang lain akan bertanya: yang mana rencana tindakan yang akan bekerja lebih baik dan kenapa (evaluasi)? Aplikasi, sintesis, dan evaluasi pertanyaan mempunyai potensi lebih untuk menghasilkan diskusi yang menarik.
Untuk meningkatkan mutu, instruktur harus memanggil siswa dengan nama ketika mereka sukarela, menyediakan penguatan hal positif ketika siswa berpartisipasi, memberikan siswa waktu yang cukup untuk menjawab pertanyaan, dan memanggil siswa secara acak jadi diskusi tersebut tidak di dominasi oleh seorang siswa sepenuhnya (Auster & MacRone, 1994). Brookfield dan Preskill (1999) merekomendasikan bahwa fakultas juga “model partisipasi diskusi” dengan mengundang satu atau dua rekan kerja kedalam kelas mereka pada awal semester dan mendemonstrasikan perilaku partisipasi diskusi yang ideal.

BAGAIMANA CARA UNTUK MELIPUTI PERBEDAAN INDIVIDU
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, partisipasi diskusi sangatlah jarang berada di dalam tubuh siswa. Introvert, yang suka mencerminkan isu, sebagai contoh, dapat
 menemukan langkah diskusi kelas yang sempit terlalu menakutkan (Brookfield & Preskill,
1999). Ketika instruktur mengizinkan beberapa siswa untuk mendominasi diskusi, keadaan akan menguntungkan pria, yang berkomunikasi berdasarkan “hierarki sosial dan kompetisi” dari pada wanita (Arbaugh, 2000, p. 505). Siswa asing dari perbedaan kebudayaan yang cukup tinggi dan siswa yang secara alami pemalu dapat dengan mudah diintimidasi dengan kebutuhan partisipasi diskusi (Kesner, 2001; Thomas, 1999).
Karena itu akan memaksa siswa untuk “mengarahkan usaha mereka untuk struktur penghargaan orang lain” (Gilson, 1994, p. 230), sebuah sistem partisipasi diskusi yang disamaratakan yang mengabaikan ras, kelas, jenis kelamin, dan kepribadian akan sedikit lebih efektif dan memotivasi daripada sebuah sistem yang fleksibel (Brookfield & Preskill, 1999). Itu memungkinkan untuk mengembangkan sebuah sistem yang fleksibel untuk partisipasi diskusi dengan membangun sebuah kerja dari Hiller dan Hietapelto
(2001) dan Fileva (2004). Hiller dan Hietapelto mengembangkan sebuah rencana yang fleksibel disebut sebagai kontrak penilaian dimana siswa diberikan pilihan tugas apa yang akan mereka kerjakan selama semester. Siswa juga diberikan kekuasaan untuk memilih bobot untuk setiap tugas dengan batasan yang luas yang diset oleh instruktur. Fileva mendisain kelas penilaian dimana siswa harus memasukan disain dari silabus,; memilih tipe, topik, dan jatuh tempo tugas (dengan batasan luas yang diset oleh instruktur);dan dikembangkan sebuah sistem panutan dari kelompok kerja. 
Di jumlah, literatur bersifat pendidikan yang utama menyediakan pengertian yang mendalam yang penting untuk mengembangkan suatu pendekatan yang tersusun untuk mengukur keikutsertaan diskusi. Lebih secara rinci, tiga unsur-unsur disain menonjol: ( a) menyelidiki panutan masuk, ( b) pembedaan antar komentar siswa, dan ( c) membiarkan beberapa fleksibilitas di tingkatan siswa individu. Berdasarkan pengertian yang mendasar ini, saya mengusulkan sebuah sistem untuk mengukur dan menimbang partisipasi diskusi di sesi berikutnya. 



Usulan Pembicaraan-Partisipasi Sistem
Saya telah menggunakan usulan pembicaraan Kehadiran dan Partisipasi System (ADPS) selama 4 tahun yang berkembang dalam bentuk sarjana Bisnis Kebijakan Strategis Pengelolaan dan Kewirausahaan kursus terutama ukuran mulai dari 20 sampai 30 siswa. Dalam ADPS, siswa bertanggung jawab untuk menilai diskusi partisipasi dari setiap anggota kelas pada setiap hari. Berdasarkan evaluasi masukan ini, setiap siswa mendapatkan poin mulai 0-3 di kelas masing-masing sesi. Harian poin yang rata-rata untuk semester, dan rata-rata adalah dikonversikan ke angka antara 0 dan 100 menggunakan skala, yang menjadi nilai keikutsertaan siswa dalam diskusi untuk semester. Setiap siswa mempunyai beberapa pilihan untuk memilih kesukaran tugas yang ditugaskan untuk nya diskusi-nilai partisipasi sebagai bagian dari keseluruhan kelas saja.
ADPS berbeda dari "penilaian panutan/panduan" metodologi yang diusulkan oleh Melvin (1988) dan Lord dan Melvin (1994). Dalam sistem mereka, instruktur untuk mempertahankan independen skor setiap siswa sepanjang semester, siswa menilai satu sama lain dari keseluruhan diskusi untuk partisipasi seluruh semester baik dalam 
berikutnya atau terakhir dalam pertemuan kelas, dan pembimbing serta rekan bersama-sama menentukan diskusi akhir siswa-partisipasi kelas. Secara khusus, "penilaian panutan/panduan" metodologi mungkin memiliki beberapa kelemahan bila dibandingkan dengan ADPS. Pertama, mengumpulkan masukan dari para siswa pada akhir pengaruh tayangan tetapi tidak menghasilkan harian nilai dari siswa. Selain itu, dengan satu poin evaluasi daripada beberapa poin evaluasi, terdapat peningkatan risiko dari persepsi. Kedua, jika seorang siswa tidak hadir selama beberapa kelas selama periode semester, ia mungkin menemukan kesulitan untuk mengevaluasi secara akurat keikutsertaannya dalam diskusi dengan siswa lainnya. Akhirnya, karena kebaruan efek, kegiatan siswa dari seluruh kinerja selama semester cenderung tidak dievaluasi sebanyak kontribusinya yang paling baru.
Ketentuan Dasar di ADPS
Masukan panutan. Kepala kesusastraan menjelaskan tiga jenis penafsiran panutan: peringkat panutan (semua anggota kelompok adalah peringkat terbaik dari yang terburuk ke pada beberapa karakteristik ), nominasi panutan ( sebuah jumlah orang tertentu dalam kelompok yang dikenal sebagai yang pertama sampai ke nilai n seterusnya yang tertinggi dalam kelompok pada beberapa karakteristik), penilaian panutan (semua anggota kelompok yang dinilai pada beberapa karakteristik; Kane & Lawler, 1978). Peringkat 20 dengan 30 siswa setiap hari dalam semester dari terbaik ke terburuk adalah tidak praktis, oleh karena itu, saya memutuskan keluar dari metode pertama peringkat panutan. Metode kedua dari nominasi panutan mengatasi masalah ini oleh hanya peringkat di atas 20% dari salah satu kelompok, misalnya, dari yang pertama sampai yang ke n/selanjutnya tertinggi. Namun, hanya oleh peringkat atas 20%, metode yang ke dua gagal membedakan antara sisa 80% dari siswa. Karena saya tertarik dalam membuat nilai untuk setiap siswa di kelas, saya memerintah metode kedua dari nominasi panutan dan memutuskan untuk menggunakan penilaian panutan sambil merancang ADPS. 
Komentar berbeda. Kepala kesusastraan merekomendasikan komentar yang berbeda ke dalam dua kategori: kontribusi tanpa partisipasi dan kontribusi (i.e., tidak ada zat-partisipasi). Namun, saat ini dalam penggunaan, kontribusi mungkin terlalu luas kategori. Dengan demikian ADPS kategori yang bekerja sebagai komentar lebih mudah atau pengertian penuh. Sebuah komentar, mudah mencukupi dalam konteks kelas diskusi yang berlangsung. Sebuah komentar dengan perhatian penuh yang mungkin akan menampilkan keunggulan berpikir luar biasa dan dapat dianggap lebih berharga. 
Dalam kesusastraan tentang kehadiran adalah diam. Siswa dapat belajar banyak tentang 
subjek masalah di bawah diskusi dalam mendengarkan diskusi kelas. Siswa yang malu dapat menjadi lebih efektif dalam diskusi kelas oleh penelitian yang lain telah dikembangkan kemampuan komunikasi dengan baik. Karena itu, diusulkan bahwa ada beberapa insentif untuk menghadiri kelas. Namun, kehadiran seharusnya hitungan waktu kurang dari satu mudah komentar.
Singkatnya, yang diusulkan dalam hierarki nilai ADPS, paling tidak untuk sebagian besar yang paling berharga, adalah sebagai berikut: kehadiran, mudah komentar, dan pengertian penuh terhadap komentar. 
Lembar evaluasi. Penilai mahasiswa menggunakan struktur evaluasi lembar (lihat lampiran) untuk merekam kehadiran dan frekuensi no-substansi, mudah, dan pengertian penuh terhadap komentar untuk setiap siswa yang terdaftar alfabet oleh nama depan. Lembar ini juga memberikan panduan untuk penilai untuk membedakan antara siswa komentar. Biasanya, ada beberapa kursi 
yang memberikan tampilan yang terbaik dari seluruh kelas. Mereka dapat kursi untuk penilai siswa. 
Karena membutuhkan waktu bagi siswa merasa nyaman untuk berpartisipasi dalam kelas 
sesi, ia bermanfaat untuk memperlambat menggunakan sistem sampai minggu ke tiga atau ke empat semester. Namun ketika di mulai, lembar evaluasi dalam setiap kelas sesi kecuali hari – hari ujian. Pertama siswa belajar tentang ADPS melalui penjelasan dalam kursus silabus. Idealnya, lembar evaluasi seharusnya merupakan bagian dari silabus. Kelas periode pertama seharusnya digunakan untuk menjelaskan perhatian segera siswa. Sebelum menerapkan sistem ini, lembar evaluasi penting untuk siswa melalui langkah-langkah mereka akan melalui saat menyelesaikan lembar evaluasi. Pengajar seharusnya juga menekankan nilai sedang konsisten dan adil dan harus hati-hati terhadap "efek halo" (Ferris & Hess, 1985). Lembar evaluasi harian jelas menyatakan bahwa memberikan tinggi mengarah ke "teman" hanya karena ia adalah teman dianggap sebagai pelanggaran 
dari Honor Code.
Dalam penilaian panutan, kemungkinan dapat berkisar antara satu atau dua siswa 
penilaian semua orang lain dalam suatu sesi kelas untuk setiap siswa dalam penilaian orang lain 
setiap sesi kelas. Aku yang memerintah pilihan terakhir karena akan dihasilkan 900 peringkat di kelas 30 siswa. Untuk mencegah penyalahgunaan yang berpotensi sistem, namun, Anda dianjurkan untuk menggunakan dua rating bukan sebagai satu banyak hari mungkin sesuai kembar kendala jumlah siswa yang terdaftar dan jumlah sesi di kelas satu semester. Misalnya, jika terdapat 
30 siswa di kelas dan ADPS diukur sekitar 18 sesi kelas selama semester, tidak boleh dua evaluators di 12 dari 18 sesi kelas.
Sistem poin harian. ADPS hierarki yang diawali dengan pengukuran mahasiswa mendapatkan nilai di masing-masing kelas sesi. Nol adalah untuk menjadi yang absen atau, jika ada, tdk pantas menurut kedudukan menampilkan perilaku (misalnya, membaca koran, mengerjakan tugas tidak berhubungan dengan kelas, melakukan teka - teki silang, tidur, berbicara dengan tetangga, atau lewat catatan). Satu poin yang diperoleh adalah untuk menghadiri kelas tanpa kontribusi (yakni, nol mudah komentar), 2 poin untuk satu atau dua komentar mudah, dan 3 poin untuk tiga atau lebih mudah komentar. Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, sebuah pengertian penuh terhadap komentar dianggap bernilai dua mudah komentar. Komentar tidak akan menerima kredit, namun demikian komentar tidak boleh dihitung negatif karena tujuan keikutsertaan dalam diskusi adalah untuk membantu meningkatkan kemampuan siswa. Penilai mendapatkan 3 poin untuk hari untuk membantu instruktur dengan kelas evaluasi. 
Pada akhir dari kelas sesi, penilai siswa memberikan lembar evaluasi kepada instruktur. Instruktur harus menyesuaikan nilai siswa untuk tidak pantas menurut kedudukan perilaku dan juga memeriksa dan/atau menyelesaikan kasus harian di mana dua nilai untuk siswa berbeda oleh 2 atau 3 poin. Seperti ketidakcocokan mungkin jika salah satu penilai salah mambaca nama siswa. Untuk membuat penilai dari pekerjaan mudah, siswa harus memiliki nama tag nama di depan dan belakang. Jika terdapat tidak ada penyesuaian, seorang siswa dari skor untuk hari ini rata-rata dua nilai. 
Poin rata-rata dan mengubahnya ke skor. Jumlah total poin yang sehari-hari dibagi dengan jumlah kelas sesi untuk memastikan poin rata-rata siswa untuk kelas per semester. Menggunakan skala sebelumnya yang seragam untuk semua siswa di kelas, rata-rata adalah dikonversikan ke angka antara 0 dan 100, yang menjadi nilai akhir siswa dalam keikutsertaan pada diskusi untuk kursus. Misalnya, rata-rata poin per kelas 0,0, 1.0, 2.0, dan 3,0 dapat dikonversi ke 0, 77, 87, dan 100, masing-masing. Karena skala konversi termasuk dalam silabus, siswa akan mengetahui pada hari pertama dari semester yang mendapat skor dari 87 (B + di sebagian besar sekolah) untuk kelas diskusi, ia harus rata-rata 2 poin per kelas sesi selama semester dan bahwa salah satu cara untuk mencapai yang rata-rata adalah untuk berpartisipasi setidaknya sekali dalam setiap kelas. Jika siswa kehilangan beberapa kelas, maka dia atau ia harus mendapatkan 3 poin di masing-masing dari beberapa kelas untuk dapat mempertahankan 2-point rata-rata. Mahasiswa menghadiri setiap sesi namun tidak mengambil bagian dalam kelas diskusi akan mengetahui bahwa ia tidak dapat berharap untuk memperoleh lebih dari 77, yang sebagian besar sekolah akan menjadi C +.
Hilangnya kelas sesi akan mempengaruhi rata – rata keikutsertaan siswa dalam diskusi semester, walaupun ia atau dia mungkin memiliki alasan – wawancara pekerjaan, magang pameran, dan lain-lain. Karena itu, ketika menghitung rata-rata untuk semester, kehilangan satu atau dua sesi kelas mungkin membebaskan untuk kelas secara keseluruhan. Atau, mahasiswa dapat diizinkan untuk menjatuhkan mereka dua nilai terendah jika mereka bekerja ekstra-kredit. Sepanjang baris yang sama, kadang-kadang sesi kelas yang tidak cukup memberikan kesempatan untuk keikutsertaan dalam dikusi (misalnya, satu sesi dengan pembicara tamu atau satu dengan yang panjang 
video) tidak boleh dihitung sebagai sesi penuh, atau untuk semua orang seperti sesi hadir 
dapat secara otomatis mendapatkan kredit untuk setiap komentar yang mudah untuk memulai 
dengan kesempatan terbatas-kelas juga dapat seimbang oleh peluang bagi poin bonus dalam beberapa kelas ( misalnya, peran bermain di kelas ). 
Angka timbal balik ( rata – rata poin yang sampai sekarang dan nilai yang dikonversi ) diberikan kepada siswa setiap beberapa bulan. Namun, sangat penting untuk tidak mengungkapkan poin yang diterima pada hari tertentu. Kebijakan ini konsisten dengan –praktek terbaik dalam berpikir 360 °penilaian yang dibuat tanpa nama (Borman & Bracken, 1998). 
Akuntansi untuk setiap perbedaan individu. Salah satu cara untuk pindah dari sistem umum, sebelum dikritik dalam sastra, adalah agar setiap siswa memilih bobot untuk keikutsertaan dalam diskusi dan komponen lain yang membentuk keseluruhan kelas saja. Ide yang mudah dipertimbangkan adalah tetap mudah disesuaikan dengan sistem kontrak yang diusulkan oleh Hiller grading dan Hietapelto (2001). Tentu saja bobot nol dalam keikursertaan diskusi adalah bukan merupakan pilihan karena penting bagi setiap orang untuk mengembangkan kemampuan komunikasi. Siswa mungkin boleh, misalnya, diberi kesempatan untuk memilih di antara tiga bobot keikutsertaan dalam diskusi mungkin untuk kelas mereka secara keseluruhan saja (misalnya, 10%, 15%, atau 20%). Siswa yang memilih ikut serta dalam diskusi akan bernilai 10% dari mereka bukan kelas saja 20% akan ada kriteria lain, seperti tes dan kuis, bernilai 10 poin dengan persentase lebih. Siswa membuat keputusan ini tentang pertengahan melalui semester, ketika mereka telah menerima cukup tanggapan untuk mereka membuat keputusan. 
Efektivitas ADPS
ADPS telah bekerja dengan baik bagi saya di lebih dari 25 bagian selama 4 tahun. Siswa tampaknya mengambil keuntungan dari sistem fleksibel berat. Di satu semester terakhir, 57% dari siswa memilih pilihan yang berat untuk ADPS, 16% dengan memilih pilihan yang paling berat, dan 27% memilih pilihan sedang. Ketika ditanya rekomendasi mereka apakah ADPS seharusnya terus, 78% dari siswa setuju (atau sangat sedikit), 8% yang netral, dan 14% tidak setuju (atau sangat sedikit). Itu keandalan antara penilai siswa telah diuji dalam tiga bagian sehaluan dalam dua semester. Dengan pasangan-sampel hubungan antara dua siswa dengan skor penilai di dua semester itu .89 (P <.001) dan .90 (p <.001), masing-masing. Kedua penilai yang baik dalam menyelesaikan kesepakatan dalam 84% dari 450 kasus dalam satu semester dan 86% dari 445 kasus pada semester kedua. 

Variasi dalam Mempekerjakan ADPS
ADPS dapat dengan mudah dimodifikasi oleh instruktur untuk masing-masing sesuai dengan gaya mengajar. Bagi mereka yang tertarik, saya menawarkan beberapa variasi. 
Membuat skala konversi lebih kurang menuntut. Dalam sistem dasar yang telah dijelaskan sebelumnya, siswa dengan rata – rata 1.0, 2.0, dan 3.0 selama semester masing – masing menerima nilai akhir 77, 87 dan 100. Untuk membuat ADPS lebih menuntut, mungkin dalam lulusan kelas, skala konversi dapat menjadi sukar: nilai 1.0, 2.0 dan 3.0 akan masing – masing memperoleh 60, 80, dan 100 poin. Untuk membuat ADPS kurang menuntut, skala konversi dapat menjadi santai: nilai yang sama akan memperoleh 80, 90 dan 100 poin. Kurang menuntut skala ini mungkin sesuai untuk pendaftaran saja dengan lebih dari 30 tahun yang memenuhi 3 kali seminggu dengan sesi kelas dari 50 menit. 
Membuat sistem poin harian lebih atau kurang menuntut. Dasar dalam sistem 
dijelaskan sebelumnya, 3 poin yang diperoleh siswa untuk setiap hari membuat tiga atau lebih komentar mudah. Sistem seperti itu mungkin akan sulit untuk dilaksanakan 
pada saat pendaftaran adalah 30 dan kelas adalah 50 menit sesi. Untuk mengakomodasi 
situasi seperti ini, siswa mungkin memperoleh 3 poin poin dengan membuat dua atau lebih 
komentaryang apa adanya. Jika seorang instruktur ingin membuat poin dalan permainan bahkan lebih lanjut, seorang siswa mungkin mendapat 3 poin per hari yang hanya membuat komentar yang apa adanya. Dengan kata lain, setiap jumlah komentar yang apa adanya dapat memperoleh maksimal 2 poin. 
Menggunakan ADPS di kelas kecil. Bila satu kelas memiliki kurang dari 10 siswa, 
kebanyakan siswa akan membuat lebih dari tiga komentar dalam kelas sesi yang khas. Dalam skenario seperti itu, sistem poin harian dapat disesuaikan sebagai 
berikut: 0 = tidak hadir untuk sesi kelas, 1 = sangat di bawah rata-rata-keikutsertaan dalam diskusi dibandingkan dengan siswa lainnya hadir berdasarkan jumlah komentar yang jelas, 2 = diskusi seperti keikutsertaan yang paling sering, siswa lainnya hadir berdasarkan jumlah komentar, dan 3 = cukup di atas rata-rata dibandingkan dengan partisipasi diskusi siswa lainnya hadir berdasarkan jumlah mudah komentar. Catatan kualitas yang sudah di bangun di atas sistem poin harian karena sebuah komentar dianggap bernilai dua mudah komentar.
Menggunakan ADPS dalam kelas yang lebih besar. Jika ada 60 siswa dalam satu kelas, sistem poin harian atau mungkin harus dibuat sedikit kurang menuntut. Misalnya, seorang siswa seorang siswa bisa mendapatkan 2 poin untuk membuat sebuah komentar apa adanya dan 3 poin untuk membuat satu atau dua komentar, dan siswa dengan sebuah rata – rata 2.0 bisa mendapat 90 poin sebagai pengganti 87 mereka akan mendapatkan di kelas 30 siswa. Sebuah kelas yang lebih besar juga akan memerlukan empat penilai pada hari tertentu, dengan satu pasangan penilai fokus pada satu kelompok dari 30 siswa dan pasangan lainnya yang berfokus pada sisa 30. 

Pemikiran dan Kesimpulan
ADPS tidak menambah beban administrasi dari instruktur. Nilai harian siswa harus dimasukkan ke dalam catatan waktu secara berkala sehingga dapat diberikan tanggapan. Beberapa siswa merasa berkaitan dengan mendorong keikutsertaan harian, Namun, bobot yang fleksibel dalam penyediaan mengurangi bagian dari beban mereka. Kritikan itu seorang siswa menilai bahwa seorang siswa tidak bisa membayar cukup perhatian kepada apa 
sedang diajarkan adalah benar, namun ini umumnya hanya terjadi sekali untuk setiap 
siswa ketika ukuran kelas berkisar antara 25 dan 30 siswa dan kelas memenuhi dua kali seminggu. Sebaliknya adalah siswa mendapat kesempatan untuk mengevaluasi keikutsertaannya dalam diskusi dan memberikan umpan balik, yang terpnting setiap orang harus memiliki kemampuan untuk hidup. Selain itu, ada kesempatan ketika penilai siswa juga ikut serta dalam diskusi.
Penilaian keikutsertaan dalam kelas adalah “ buatan campur tangan dimaksudkan 
memberikan siswa kesempatan untuk menilai kemampuan komunikasi dan kecendrungan, serta mereka telah dinilai oleh orang lain "(Smith, 1994, hal 239). Memperlakukan siswa adil dalam penilaian ini, instruktur harus secara eksplisit menjelaskan terkait persyaratan dan standar (Akademi Manajemen Kode Etik Perilaku, 2005). ADPS berusaha untuk memperlakukan siswa secara adil dengan menghubungkan perilaku keikutsertaan harian siswa, nilai keiktsertaan harian, nilai rata-rata semester dan nilai keikutsertaan semester akhir. Ada struktur yang cukup dalam sistem yang diusulkan agar transparan untuk siswa, 
belum memungkinkan kebebasan kepada siswa untuk memilih sesuai dengan kekuatan dan kelemahan mereka. Dengan memberikan beberapa pilihan kepada siswa bagaimana mengevaluasi ADPS membantu menciptakan sebuah “ kelas menghormati “(Hiller & Hietapelto, 2001, hal 677). Sedangkan siswa memberikan manfaat dari persepsi panutan, yang memungkinkan instruktur untuk fokus mengajar mereka. ADPS dapat dengan mudah dimodifikasi oleh instruktur individu untuk mengajar sesuai dengan gaya mereka. Saya harap artikel ini menawarkan beberapa pendekatan baru dan ide untuk rekan-rekan yang mungkin berjuang dengan pengukuran keikutsertaan dalam diskusi. 
Lampiran 
Lembar Evaluasi
Tanggal hari ini Topik hari ini
Menjadi adil dan objektif sebagai hakim di kelas diskusi hari ini. Nama siswa disusun berdasarkan abjad dari nama pertama ( kolom 1 ). Lingkaran nama Anda pada 
daftar di bawah ini untuk mengidentifikasi diri Anda sendiri. Gunakan Kolom 2 untuk menunjukkan jika seorang siswa tidak hadir atau terlambat. Gunakan panduan dalam rubrik di balik samping lembar ini untuk membedakan antara komentar siswa. Catatan frekuensi masing-masing jenis komentar ( no-substansi, mudah, dan pengertian ) seorang siswa masing-masing dibuat dalam Kolom 3, 4, dan 5. Komentar berwawasan yang dianggap layak dua komentar yang sebenar - benarnya. Tidak ada komentar subtansi tidak memperoleh kredit. Pada akhir kelas, masukkan poin siswa harus mendapatkan dalam Kolom 6 berdasarkan sistem sebagai berikut:
0 - Absen untuk kelas
1 – nol komentar atau beberapa tidak ada isi pokok komentar
2 - setara dengan satu atau dua komentar 
3 - setara dengan tiga atau lebih komentar
Terima kasih dalam kemajuan!
Catatan: Memberikan poin tinggi untuk “ teman “ Anda atau memiliki timbal balik dalam penilaian 
susunan merupakan pelanggaran terhadap Kode Honor.
Kolom 1 Kolom 2 Kolom 3 Kolom 4 Kolom 5 Kolom 6
Nama Tidak hadir atau terlambat Frekuensi dari tidak ada isi pokok komentar Frekuensi komentar yang sebenar–benarnya Frekuensi dari komentar berwawasan Poin untuk hari ini
Pertama terakhir
Pertama terakhir
Pertama terakhir
Pertama terakhir
Pertama terakhir
Pertama terakhir
Pertama terakhir
Pertama terakhir
Pertama terakhir
Pertama terakhir
Pertama terakhir
Pertama terakhir

Pertama terakhir
Pertama terakhir
Pertama terakhir
Pertama terakhir
Pertama terakhir
Pertama terakhir
Pertama terakhir
Pertama terakhir
Pertama terakhir
Pertama terakhir
Pertama terakhir
Pertama terakhir

Pertama terakhir
 A / T

A / T

A / T

A / T
A / T

A / T

A / T
A / T

A / T

A / T
A / T

A / T

A / T

A / T

A / T

A / T
A / T

A / T

A / T
A / T

A / T

A / T
A / T

A / T

A / T

 123

123

123

123
123

123

123
123

123

123
123

123

123

123

123

123
123

123

123
123

123

123
123

123

123

 123

123

123

123
123

123

123
123

123

123
123

123

123

123

123

123
123

123

123
123

123

123
123

123

123

 123

123

123

123
123

123

123
123

123

123
123

123

123

123

123

123
123

123

123
123

123

123
123

123

123

 

Lembar Evaluasi
Pedoman dalam rubrik ini diadaptasi dari Gioia (1987) dan contoh tema dikutip dalam Arter dan McTighe (2000) dan Lewi dan Stevens (2005). Menggunakan panduan ini untuk membedakan komentar siswa. Harap fokus pada isi komentar siswa hubungan isi diskusi kelas yang terus – menerus. Jangan fokus pada penyampaian. Dengan kata lain, fokus dengan apa yang dikatakan siswa. Tidak pada bagaimana siswa berbicara. Setiap berita dalam tingkat tertentu tidak perlu diperiksa untuk komentar yang akan digolongkan pada tingkat tertentu. Akhirnya, komentar tidak perlu dijadikan ke dalam bentuk sebuah jawaban. Sebuah pertanyaan yang ditanyakan oleh siswa juga sebuah komentar yang benar. 
Tidak ada isi pokok komentar: tidak memadai dalam konteks kelas diskusi yang berlangsung. 
• Tidak menambah pemahaman dari berbagai topik. Mengulangi dengan tepat apa yang lain dari siswa sebelumnya menggunakan kata yang sama atau berbeda kata. 
• Isi sangat dangkal, tidak relevan, terputus, atau acak.
• Hampir tidak ada yang mengatakan dengan rinci respon yang sesuai.
Komentar yang sebenar – benarnya: memadai dalam konteks kelas diskusi yang sedang berlangsung. 
• Menambahkan untuk memahami topik. 
• Memberikan isi cukup untuk menjawab pertanyaan yang ditanyakan. Mungkin termasuk 
dangkal atau beberapa isi yang tidak relevan. 
• Mungkin tepat menggunakan teori dan menyarankan hubungan apa yang mungkin berkata lain.
Komentar berwawasan: pemimpin dalam konteks kelas diskusi yang berlangsung.
• Secara signifikan meningkatkan pemahaman berbagai topik.
• Menunjukkan isi pokok yang mendalam, sepenuhnya, dan kompleksitas pemikiran. 
• Membuat sambungan teori kreatif, sebelum kursus, dan mengambil kelas disusi dengan pimpinan baru. 








Standarisasi Pendidikan Nasional


Judul buku: Standarisasi Pendidikan Nasional

Pengarang: H.A.R. Tilaar

Penerbit : Rineka Cipta, Jakarta

Tahun terbit: 2006


STANDARISASI PENDIDIKAN NASIONAL

Ketika masyarakat Indonesia dilanda gelombang globalisasi di dalam dunia yang terbuka dan rata ( flat ) maka orang mulai berbincang dan membandingkan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia dengan bangsa-bangsa lain.

Masalah mengenai standar dan kompetensi pendidikan telah muncul lebih dari 100 tahun lalu di dunia barat. Sejalan dengan gelombang globalisasi yang melanda dunia, standarisasi mulai memasuki dunia pendidikan di negara-negara berkembang. Dalam masyarakat Indonesia dewasa ini, sejak tiga tahun terakhir sesudah lahirnya UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, standarisasi pendidikan melalui ujian nasional, sebagai salah satu sarana untuk mencapai standar nasional pendidikan telah melahirkan polemik yang kontroversial di dalam masyarakat.
Undang - Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menggarisbawahi perlunya komitmen pemerintah terhadap pendidikan namun dalam APBN/APBD justru dikalahkan oleh suatu peraturan pemerintah.
Kurangnya komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk menjadikan pendidikan sebagai titik-tolak reformasi masyarakat dan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang cerdas dan demokratis sebenarnya telah tampak di dalam ketiadaan arah pengembangan pendidikan nasional.

BAB I
GERAKAN STANDARISASI DAN KOMPETENSI DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Memasuki abad ke-21 dunia pendidikan Indonesia terjadi suatu kehebohan. Di mana kehebohan tersebut bukan disebabkan karena kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan Indonesia. Hal ini bukan berarti tidak terjadi sesuatu di dalam perkembangan pendidikan nasional sejak kemerdekaan 1945. Dilihat secara objektif, perkembangan itu sangat pesat apabila kita lihat misalnya dari jumlah penduduk Indonesia yang dapat mengenyam pendidikan dibandingkan dengan pada masa kolonial.
Pada masa Orde Baru terjadi suatu pekembangan yang pesat di dalam kehidupan bangsa Indonesia sehingga digolongkan sebagai salah satu dari Miracle Asia dengan pertumbuhan ekonominya yang sangat cepat. Garis – Garis Besar Haluan Negara pada era Orde Baru, memprioritaskan pada perkembangan ekonomi, menjadikan sektor pendidikan sebagai penunjang bagi perkembangan ekonomi dan stabilitas keamanan. Dengan demikian pendidikan nasional mementingkan kepada pemerataan agar semakin banyak rakyat Indonesia yang memperoleh pendidikan. Kuantitas pendidikan lebih diberikan prioritas terhadap kualitas pendidikan.
Pada Era Reformasi menuntut pelaksanaan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, menggantikan cara hidup yang didasarkan kepada stabilitas keamanan dan pemerataan diganti dengan kebebasan individu. Di dalam masa transisi sejak krisis ekonomi kemudian menjadi krisis multidimensional yang dialami oleh masyarakat Indonesia, berdampak terhadap sistem pendidikan nasional.
Konsekuensi yang terjadi dengan peralihan yang fundamental di dalam kehidupan masyarakat Indonesia, dengan dirasakan adanya ketertinggalan di dalam mutu pendidikan, manajemen pendidikan nasional, dibandingkan dengan negara – negara lain yang telah menikmati demokrasi di dalam kehidupan masyarakatnya. Pendidikan nasional memang telah menjadi penopang dari keberhasilan yang relative positif dalam pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, keberhasilan tersebut ternyata keberhasilan yang semu, karena kehidupan demokrasi bukan hanya menuntut pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi juga harga diri dan kemampuan manusia Indonesia yang tidak kalah dengan kemajuan bangsa – bangsa lain.
Pendidikan nasional merupakan kambing hitam dari keterbelakangan suatu masyarakat atau bangsa. Namun kefokusan akan kualitas, ditafsirkan sebagai suatu manifestasi dari kehidupan manusia yang semakin bersifat materialistik. Makna kehidupan ditentukan oleh nilai ekonomi yang dapat dinikmati atau diperoleh anggotanya. Pemikiran ekonomi materialistis juga memasuki dunia pendidikan nasional. Berfikir di dalam dunia pendidikan menggunakan epistema – epistema yang berlaku dalam dunia ekonomi.
Dalam dunia pendidikan modern menurut epistema ekonomi diukur sejauh mana dunia pendidikan memberikan sumbangan terhadap kebutuhan perkembangan ekonomi. Pendidikan merupakan pemasok sumber daya manusia yang dibutuhkan oleh dunia kerja, serta bagi perkembangan ekonomi. Lembaga – lembaga pendidikan lebih berfungsi sebagai lembaga – lembaga pelatihan untuk memperoleh kompetensi – kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Yaitu kompetensi – kompetensi yang dituntut oleh dunia modern yang terlepas dari idealisme pendidikan sebagaimana yang dikenal pada masa sebelumnya. Kompetensi – kompetensi yang dibutuhkan terus – menerus berubah apalagi di dalam dunia modern dalam era globalisasi. Kompetensi – kompetensi yang dimiliki seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah sesuai dengan standar yang telah ditentukan oleh epistema ekonomi. Lahirlah epistema standarisasi pendidikan yang harus dicapai oleh output lembaga – lembaga pendidikan berupa kompetensi – kompetensi.

A. Pendidikan Nasional Indonesia Kehilangan Rohnya
Ketiadaan arah yang jelas dalam pendidikan nasional menunjukkan hilangnya elan vital di dalam pendidikan nasional yang menggerakkan sistem pendidikan untuk mewujudkan cita – cita bersama. Pendidikan nasional telah mengkhianati cita – cita proklamasi 1945 yaitu mewujudkan suatu bangsa Indonesia yang besar, yang bertekad bersatu, hidup bersama di dalam masyarakat Indonesia. Saat ini yang tampak adalah sebaliknya, pendidikan nasional bukan lagi pemersatu bangsa tetapi telah merupakan ajang pertikaian dan persemaian manusia – manusia yang berdiri sendiri dalam arti sempit, mementingkan diri dan kelompok sendiri serta masing – masing ingin mewujudkan kepentingan kelompok sendiri.
Kekuatan Politik
Dewasa ini pendidikan nasional telah merupakan subordinasi dari kekuatan – kekuatan politik praktis. Pendidikan telak dimasukkan di dalam kancah perebutan kekuasaan oleh partai – partai politik. Pendidikan bukan lagi bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, tetapi membangun kekuataan dari politik praktis tertentu untuk kepentingan golongan atau pun kelompoknya sendiri. Dalam pandangan politik ditentukan oleh dua paradigma, yaitu teknologi dan ekonomi. Paradigma teknologi mengedepankan pembangunan fisik yang menjamin kenyamanan hidup manusia sedangkan paradigma ekonomi menekankan kepada pencapaian kehidupan yang modern dalam arti pemenuhan kebutuhan – kebutuhan material duniawi tetapi mengenyampingkan kebutuhan – kebutuhan yang bukan materialistis duniawi. Di dalam kedua paradigma ini pandangan tentang manusia yang sebenarnya telah digelapkan. Manusia adalah objek bukan subjek yang harus menjadi pusat perhatian. Yang dipentingkan adalah pembangunan sarana – sarana fisik dan prasarana politik sehingga mengaburkan kebutuhan - kebutuhan yang paling esensial dari manusia Indonesia. Kebutuhan esensial adalah perlunya dikembangkan rasa persatuan dari setiap insan Indonesia, ialah adanya “ kohesi sosial “ yang perlu dikembangkan sejak dini dari setiap generasi Indonesia. Saat ini kohesi sosial mulai retak sehingga masing – masing memikirkan kepentingan diri sendiri, kolompok sendiri, etnis sendiri dan tidak memikirkan mengenai kesatuan nasional. Ketiadaan kohesi sosial menunjukkan hilangnya elan vital di dalam kehidupan bersama masyarakat Indonesia yang akan berakibat bubarnya kesatuan Indonesia. Apa yang terjadi dewasa ini adalah orang mencari perbedaan serta menonjolkan perbedaan itu sebagai identitas kelompok yang akhirnya merugikan kelompok lain. Demokrasi adalah mengumpulkan berbagai pendapat yang berbeda maupun kesamaan pendapat untuk dapat lebih memperkaya kehidupan bersama. Mencari kesamaan bukan berarti menggeneralisasikan semua rakyat Indonesia yang berbeda – beda tetapi suara hati spiritual justru mencari perbedaan – perbedaan yang dapat memperkaya kehidupan bersama.
Orientasi politik yang sempit telah mematikan paradigma kemanusiaan Indonesia yang justru telah mengilhami dan merupakan elan vital dari para pejuang nasional kita.
Kekuatan Ekonomi
Manusia tidak telepas dari gelombang medernisasi yang melanda seluruh dunia. Kekuatan ekonomi ini telah memasuki kehidupan pendidikan nasional. Salah satu bentuk pemikiran ekonomis dalam dunia pendidikan ialah orientasi liberalisme atau neoliberalisme yang mempunyai nilai – nilai positif maupun negatif. Nilai – nilai positif adalah memberikan orientasi praktis terhadap pendidikan nasional agar pendidikan menunjang perbaikan hidup dan peningkatan taraf hidup rakyat Indonesia. Sedangkan nilai – nilai negatif antara lain telah mempersempit tujuan pendidikan sebagai upaya untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas, bermanfaat bagi kehidupan, yang dapat bersaing dan menyediakan sistem pendidikan yang efisien. Sistem pendidikan nasional disusun berdasarkan pertimbangan – pertimbangan efisiensi, produktif, dan menghasilkan manusia – manusia yang dapat bersaing. Prinsip – prinsip tersebut dapat membawa pendidikan nasional kepada pembangunan yang semata – mata untuk mencari profit, artinya yang dapat memberikan keuntungan sebesar – besarnya terhadap investasi yang telah dilaksanakan dalam bidang pendidikan. Demi mencapai efisiensi dan kualitas pendidikan, maka disusunlah berbagai upaya standarisasi. Standarisasi dalam bidang antara lain menghasilkan berbagi upaya untuk memperoleh standar yang dikehenaki secara efisien. Muncullah konsep - konsep seperti Ujian Nasional yang bukan lagi merupakan upaya untuk memetakan masalah – masalah pendidikan, tetapi dijadikan suatu tolak ukur untuk menentukan nasib anak.
Paradigma ekonomi menguasai pendidikan nasional saat ini ternyata di dalam penyusunan RENSTRA Departemen Pendidikan Nasional. Apabila pendidikan nasional dipandang sebagai suatu kegiatan bisnis maka dapat dimengerti RENSTRA tersebut menekankan kepada dua sisi organisasi yang dapat memberikan profit yaitu : 1) Manajemen yang membicarakan mengenai masalah – masalah teknis dalam organisasi pendidikan nasional, dan 2) kepemimpinan bagaimana mengarahkan organisasi pendidikan nasional agar dapat memberikan profit yang sebesar – besarnya.
Sebagai suatu paradigma, RENSTRA Depertemen Pendidikan Nasional di dalam pengembangan sistem pendidikan nasional menekankan kepada masalah institusional yaitu manajemen dan kepemmpinan dan bukan pada masalah pokok, ialah pengembangan anak Indonesia. Menghilangnya anak Indonesia di dalam proses pendidikan Indonesia telah menjadikan anak Indonersia sebagai objek semata. Bagaimana anak Indonesia itu dijadikan alat untuk menggulirkan tujuan ekonomis yaitu pertumbuhan, keterampilan, penguasaan skill yang dituntut dalam pertumbuhan ekonomi.
B. Reifikasi dan Fordisme Pendidikan
Objektivikasi anak Indonesia telah membawa proses pendidikan kepada proses reifikasi yang berarti membendakan segala sesuatu yang dijadikan sebagai objek.
Reifikasi proses pendidikan secara logis melahirkan berbagai ukuran standarisasi serta kompetensi – kompetensi untuk memenuhi standar tersebut. Proses pendidikan yang telah direifikasi merupakan bagian dari proses produksi yang dilaksanakan menurut prinsip – prinsip manajeman seperti yang telah diletakkan oleh Taylor. Taylorisme dalam proses pendidikan menuntut pelaksanaan pendidikan menurut prinsip – prinsip efisiensi dan produktivitas atau investasi dalam pendidikan. Proses pendidikan yang demikian merupakan proses yang mematikan kreativitas karena yang dituju adalah efisiensi serta kualitas yang tinggi sesuai dengan selera konsumen. Terkenal dengan prinsip ban berjalan yang telah menghasilkan mobil Ford model T yang dapat diproduksi secara masal telah mengubah sistem produksi serta gaji para buruh di dalam menghasilkan apa yang disebut Fordisme. Fordisme bukan hanya mengubah cara – cara produksi murah, produktif, tetapi juga melahirkan sikap konsumerisme serta kebutuhan manajer dan buruh yang terampil.
Gerakan standarisasi pendidikan, disertai dengan berbagai jenis kompetensi untuk memenuhi tuntutan berbagai standar telah memasuki proses pendidikan saat ini dalam dunia pendidikan nasional. BSNP kini menampakkan wajahnya sebagai suatu organisasi industri pendidikan yang menentukan standar seperti standar isi, kelulusan, kurikulum dari berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Pendidikan telah dijadikan sebagai suatu industri.
C. Standarisasi dan Dunia yang Penuh Ketidakpastian
Sudah dapat dilihat paradigma standarisasi mempradugakan dunia yang dapat distandarisasikan. Kehidupan masa depan dapat diprediksi apalagi dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam era reformasi rakyat Indonesia menginginkan adanya kebebasan pribadi meskipun akhirnya kebebasan tersebut menjadi kebablasan sehingga muncullah masalah – masalah di dalam menegakkan kembali kesatuan Indonesia.
Dunia penuh resiko. Suatu risk society artinya dunia banyak kemungkinan yang mempunyai potensi – potensi yang tidak dapat diramalkan sebelumnya. Oleh sebab itu manusia dibekali dengan kemampuan kreativitas untuk mencari dan memanfaatkan berbagai peluang yang ada dan yang tidak terduga. Suatu risk society membutuhkan hal – hal yang bukan saja penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi membutuhkan daya kreativitas dari manusia untuk melihat peluang – peluang terbuka. Standarisasi, kompetensi, sertifikasi, semua hal ini berdasarkan kepada praduga adanya dunia yang statis yang dapat dikuasai oleh ilmu dan teknologi.
Dalam hal ini proses pendidikan memegang peranan yang sangat penting, sebab di dalam proses tersebutlah lahir pemikiran – pemikiran baru, kreativitas dan dinamika di dalam suatu kehidupan bersama. Perubahan tidak terjadi dari teknologi dan ilmu pengetahuan tetapi perubahan lahir dari manusia yang kreatif dan inovatif. Perubahan ternyata di mulai dari perubahan ide, perubahan di dalam pendangan dunia.
Standarisasi, penguasaan berbagai jenis kompetensi demi untuk mencapai kualitas dari hasil produksi industri pendidikan merupakan buah pemikiran yang organistik dari sebenarnya prediksi – prediksi yang optimis dari kemajuan ilmu pengetahuan rasio manusia hanya menghasilkan suatu dunia yang tidak menentu atau penuh resiko yang berakibat kehancuran dari kebudayaan itu sendiri dan kehancuran manusia. Dunia penuh resiko tersebut merupakan tantangan dan sekaligus merupakan dinamika kehidupan dari manusia. Inilah masyarakat modern dalam arti yang sesungguhnya, yaitu masyarakat yang terus – menerus berubah karena kemampuan akalnya dalam mencari peluang yang diberikan oleh alam sekitar dan kehidupan dalam masyarakat.
Demokrasi pada hakikatnya menghargai perbedaan individu serta kerja sama individu di dalam masyarakat. Pendidikan yang mematikan demokrasi mulai terlihat di dalam pelaksanaan Ujian Nasional yang homogen untuk seluruh Indonesia, penentuan kelulusan peserta – didik oleh BSNP tanpa menghormati kebebasan guru. BSNP telah merupakan suatu mesin raksasa pendidikan yang mengatur segala – galanya tanpa memberikan peluang terhadap tumbuhnya kreativitas dan mematikan demokrasi.

BAB II
GENEALOGI STANDAR DAN KOMPETENSI
Metode genealogis bermula dari pendapat Nietzsche, menurut beliau apa yang disebut baik dan buruk merupakan suatu vokabularis dari masa lalu di dalam dunia modern.
Di dalam hal ini metodelogi genealogis sebenarnya merupakan suatu proses merelativikasikan konsep – konsep yang ada. Dengan demikian metode ganealogis menempatkan elemen – elemen yang terpragmentaris di dalam relasi yang sesungguhnya. Standar dan kompetensi merupakan konsep – konsep modern secara genealogis lahirnya konsep standar dan kompetensi di dalam kehidupan modern manusia.
A. Standar dan Kompetensi: Pengertian
Standar dan kompetensi adalah buah dari masyarakat modern. Thomas L. Friedman melukiskan sebab – sebab dari lahirnya masyarakat modern, ada empat hal yang menyebabkan lahirnya dunia modern:
Pencerahan Akal
Abad modern atau proses modernisasi merupakan anak dari reaksi manusia terhadap kungkungan dogma – dogma agama terhadap rasio manusia. Pencerahan akal manusia menuntut kehidupan yang demokratis, menghargai kebebasan berfikir manusia serta hakikat manusia yang bebas merdeka. Kebebasan manusia untuk menentukan nasibnya sendiri telah mengubah struktur masyarakat yang ada, struktur ilmu pengetahuan dan kekuasaan.
Rasionalisme
Pencerahan akal manusia membawa manusia kepada pendapat mengenai kemampuan akalnya yang bahkan tidak terbatas. Ilmu pengetahuan yang benar diperoleh melalui resiko manusia bahkan kepercayaan dan agama manusia yang benar hanya dapat diberikan oleh rasio. Pemujaan terhadap kemampuan akal di dunia, di sini, dan sekarang. Pemujaan pengembangan ilmu pengetahuan sangat pesat karena tidak terikat lagi kepada dogma – dogma agama yang dianggap mistik. Manusia adalah ukuran segala – galanya.
Empirisme
Rasionalisme membuka akal manusia terhadap dunia dan kehidupan akhirnya membuka mata manusia bahwa sumber ilmu pengetahuannya bukan dari wahyu dan akal murni, tetapi dari empiris pengalaman – pengalaman manusia di sekitarnya dan kemampuan rasional manusia untuk membayangkan pengalaman – pengalaman yang baik dan natural maupun supernatural.
Kepercayaan terhadap kemampuan akal manusia, terhadap rasionalisme yang mempunyai kemampuan penetrasi terhadap keterbatasan manusia serta empirisme yang memberikan pengetahuan nyata dari dunia di mana manusia hidup telah menyebabkan keinginan manusia untuk mengeksplorasi alam sekitar dan alam semesta untuk kepentingan dirinya sendiri.
Rasionalisme Melahirkan Kemajuan ( Progress )
Abad pencerahan yang membuka kungkungan rasio manusia telah mengubah masyarakat menjadi suatu masyarakat yang terbuka. Lahirnya masyarakat industri yang didukung oleh keinginan manusia untuk menguasai alam. Dunia yang lain bukan hanya dikuasai secara politik tetapi juga yang dapat memberikan suplai terhadap kebutuhan bahan baku industri.
Sejalan dengan lahirnya masyarakat industri, lahir pula dengan cepat sekularisme yang bukan hanya suatu kekuatan yang menentang dogma agma, pandangan dunia dan hidup berdasarkan dogma – dogma agama yang tradisional tetapi juga merupakan suatu gaya hidup baru. Sekularisme bertuankan rasio manusia yang percaya kepada progres yang hanya dapat diwujudkan di dunia melalui rasio, modal manusia dan kerja keras.
Nilai – nilai Positif dari Modernisme
Nilai positif yang dibawa oleh dunia industri modern yaitu lahirnya pendidikan rakyat berupa wajib belajar ( compulsory education ) pada pertengahan abad ke- 19 mula – mula oleh industri Barat.
Hak asasi manusia mulai dikenal oleh rakyat banyak sehingga timbullah pemberontakan – pemberontakan yang lahir dari keinginan rakyat untuk berdiri sendiri dan menghapuskan kekuasaan istimewa. Gerakan demokrasi sebagai anak dari masyarakat modern telah mengubah wajah dunia yaitu masyarakat global yang menghargai nilai – nilai harkat asasi manusia.
Standar dan Kompetensi
Di dalam masyarakat standar dan kompetensi merupakan tuntutan – tuntutan mutlak. Diperlukan standar yang semakin lama semakin disempurnakan. Demikian pula lahirnya manusia yang semakin cerdas sehingga menuntut kepuasan, kemudahan, kecepatan dan ketepatan.


Lahirnya Standarisasi dalam Dunia Industri
Merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dielakkan. Standar akan memudahkan proses produksi demikian pula dalam distribusi.
Gerakan scientific modern yang lahir pada awal abad ke- 20 telah menghasilkan revolusi industri modern. Di dalam scientific management bukan hanya memerlukan pengelolaan yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan tetapi juga memerlukan pengetahuan serta keterampilan yang khusus dari para pengelola.
Kualitas Sebagai Inti dari Standarisasi
Kualitas dapat berarti a degree of action, sesuai dengan requirement, keseluruhan karakteristik yang memuaskan dalam penggunaan suatu produk, bebas dari kekurangan – kekurangan. Kepuasan dapat dilihat secara sadar apakah produk tersebut memberikan keuntungan atau kerugian dalam penjualan, inilah inti dari kualitas.
Dimensi – dimensi Kualitas
Terdapat tiga dimensi yang saling berkaitan, yaitu: 1) Dimensi kualitas bisnis, artinya sejauh mana bisnis tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat. 2) Dimensi produk, sejauh mana produk dan servis memenuhi pelanggan tertentu. 3) Dimensi organisasi, sejauh mana organisasi mempunyai efisiensi secara maksimal dan efektif.
B. Standar dan Kompetensi dalam Masyarakat Modern
Dunia saat ini merupakan dunia modern dalam era globalisasi yang berarti dunia menghilangkan batas – batas globalisasinya. Globalisasi merupakan kompresi dari tempat dan waktu.
Standarisasi dan kompetensi yang masuk ke kehidupan modern merupakan peralihan dari era modernisme ke posmodernisme. Yang saat ini lebih mengarah kepada individualisme. Kehidupan bersama bukan lagi ditentukan oleh kerja sama atau kohesi social tetapi oleh persaingan bebas. Persaingan pada akhirnya membuat manusia sangat individualistiksebab menganggap sesame sebagai saingan atau musuh.
Berbagai jenis standar yang dikenal dalam masyarakat modern adalah sebenarnya pelecehan terhadap demokrasi. Siapa yang tidak mencapai standar akan tersisih dari kehidupan bersama. Berbagai konsekuensi yang dapat muncul dari konsep standarisasi dan kompetensi yang telah lahir dari era modernisasi.

BAB III
STANDARISASI DAN NEOPOSITIVISME
Bahwa segala sesuatu dapat diukur dari lahirnya pemikiran positivisme yaitu klaim yang mengatakan bahwa studi tentang manusia atau kehidupan sosial haruslah diorganisasikan sesuai dengan prinsip – prinsip yang sama dengan dunia fisik atau alamiah. Pandangan positivisme beranggapan kemampuan rasional dan pengertian ilmiah secara empiris akan menghasilkan pengetahuan umum yang dapat meningkatkan taraf hidup manusia.
Salah satu cabang yang sangat berpengaruh dari positivisme ialah positivisme logis yang berkembang pada 1920 – 1930. Di dalam hal ini filsafat positivisme berbeda dengan filsafat sosial yang membicarakan hal – hal yang diinginkan untuk mencapai kemajuan.
A. Neopositivisme
Bagaimanakah nasib dari perkembangan dalam dunia pemikiran positivisme ini? Dalam pemikiran ilmu – ilmu sosial saat ini, masih tetap didominasi oleh berbagai variasi neopositivisme. Dominasi dari ilmu – ilmu alamiah seluruhnya menyebabkan teori sosial kritis dari mashab Franhfurt merupakan suatu pendangan minoritas.
Positivisme, Saintisme dan Perang Ilmu
Kelompok positivisme mengatakan bahwa ada kesatuan ilmu pengetahuan oleh sebab itu ada kesatuan pendekatan. Ilmu – ilmu alamiah telah menunjukkan keberhasilan dan kemajuannya sebagai berikut: 1) para peneliti mengambil sikap distansi penuh apa yang ditelitinya. 2) dengan adanya distansi maka seorang peneliti suatu yang netral yaitu data yang bebas dari unsur – unsur subjektivisme. 3) dapat memanipulasi objek dalam eksperimen untuk dapat menumbuhkan model sebab-akibat. 4) hasil dari manipulasi tersebut menghasilkan ilmu pengetahuan dengan hukum – hukumnya. 5) pengetahuan yang dihasilkan merupakan pengetahuan yang bebas dari kepentingan – kepentingan subjektif.
Wilayah ilmu – ilmu sosial ternyata memerlukan pendekatan yang berbeda dengan pendekatan yang diperlukan dalam wilayah ilmu – ilmu alamiah. Penelitian dalam dunia sosial memerlukan kemampuan pemahaman sebab yang ditemukan dalam dunia tersebut bukan hubungan sebab-akibat melainkan mengenai makna.
Saintisme dan Neopositivisme
Kemampuan rasio manusia dalam masyarakat akan menolak kemampuan berupa pertumbuhan ekonomi dan pembangunan materi serta terwujudnya tujuan sejarah yaitu kesempurnaan tidak terbatas manusia. Cita – cita positivisme yang mengawinkan antara ilmu – ilmu kealaman dan ilmu – ilmu sosial telah menghasilkan pertentangan baru dalam dunia budaya. Ternyata saintisme telah melahirkan suatu mitos baru yaitu mitos yang membutakan pandangan terhadap bahaya sains yang tidak terkontrol oleh pertimbangan – pertimbangan moral manusia.

B. Lahirnya Teknopoli
Perubahan besar dalam kebudayaan yang dipicu oleh positivisme telah melahirkan kebudayaan dunia yang dikuasai oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu, sudah pada waktunya apabila kita mengetahui peranan teknologi dan arah perkembangan teknologi itu dalam kehidupan bersama manusia. Dalam dunia yang semakin mengglobal, peranan teknologi semakin menjadi signifikan bukan hanya dalam mempererat komunikasi antar manusia, budaya, tetapi juga mungkin timbul konflik – konflik dalam kehidupan bersama.
C. Lahirnya Warga Cyborg
Masyarakat teknopoli telah melahirkan manusia yang percaya akan kemajuan teknologi bahkan merindukan terciptanya manusia – manusia robot yang dikenal sebagai manusia cyborg. Gejala – gejala ini telah mulai kita lihat dengan kemajuan teknologi computer yang bukan saja memudahkan manusia untuk menyimpan dan memproses informasi tetapi juga telah merupakan suatu alat untuk mengontrol kehidupan manusia modern.
Berlawanan dengan pandangan teknopoli, terdapat pandangan yang tetap melihat manusia sebagai makhluk yang bebas dan dapat menggunakan teknologi untuk kehidupannya agar lebih baik, sehat, dan tetap merupakan manusia sebagai ciptaan Tuhan.

BAB IV
KUALITAS DAN STANDAR PENDIDIKAN INDONESIA: SUATU REFLEKSI
Kualitas merupakan suatu kosakata di dalam kehidupan modern. Pendidikan tidak terlepas dari ungkapan berkualitas. Di dalam dunia yang mengglobal saat ini di mana terjadinya persaingan dalam berbagai lapangan kehidupan, istilah kualitas telah merupakan suatu pengertian sehari – hari.
Dalam perspektif ekonomi, kualitas pendidikan dihubungkan dengan prinsip efisiensi. Pendidikan yang berkualitas hanyalah pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan prinsip efisiensi. Pendidikan dianggap sebagai suatu bentuk investasi modal dan oleh sebab itu dikelola secara efisien.
Dewasa ini terjadi suatu kehidupan kembali dari aliran manajerialisme dalam pendidikan. Manajerialisme saat ini identik dengan kualitas. Dalam rangka memperoleh kualitas tinggi, lembaga – lembaga pendidikan haruslah melaksanakan prinsip – prinsip manajerial modern yaitu menentukan tujuan ( objective saving ), perencanaan, peninjauan kembali ( reviewing ), monitoring internal, dan laporan eksternal. Dalam pelaksanaan, prinsip – prinsip tersebut, perumusan kebijakan ( policy formation ) dan kegiatan operasional haruslah dipisahkan. Selanjutnya governance, manajeman, operasi, masing – masing mempunyai peranannya yang berbeda. Oleh sebab itu kualitas pendidikan direduksikan dalam indikator – indikator performance yang dapat diukur dan dilaporkan. Inilah prinsip manajemen modern.
Dilihat dari perspektif globalisasi, kehidupan ditandai oleh sifat kompetitif. Sistem pendidikan yang dipengaruhi oleh perubahan – perubahan global menjadi kompetisi sebagai sarana untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan kualitas pendidikan.

A. Kualitas Pendidikan Indonesia: Suatu Refleksi
Beberapa era perkembangan kualitas pendidikan di Indonesia:
1. Era Kolonial
Pendidikan kolonial untuk golongan penguasa serta bangsawan tidak dapat diragukan mempunyai mutu yang dapat dibanggakan. Masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada waktu itu adalah kekurangan kesempatan yang sama yang diberikan kepada semua anak bangsa. Itulah sebabnya UUD 1945 dinyatakan dengan tegas bahwa pemerintah akan menyusun suatu sistem pendidikan nasional untuk rakyat. Kesempatan yang sama harus diberikan oleh sistem pendidikan nasional untuk semua anak bangsa.
2. Era Orde Lama
Dimulai dengan masa revolusi pendidikan nasional mulai meletakkan dasar – dasarnya. Sangat terasa keadaan masa revolusi yang serba terbatas tetapi kita dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Telah dimulai pendidikan indoktrinasi yaitu menjadikan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan Orde Lama.
Pada masa Orde Lama dikenal juga mangenai upaya untuk meningkatkan pendidikan di sekolah – sekolah menengah dengan dilaksanakan ujian – ujian negara yang terpusat. Dalam bidang pendidikan tinggi ialah mendirikan universitas di setiap provinsi untuk lebih memeratakan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi.
3. Era Orde Baru
Era ini dikenal sebagai era pembangunan. Untuk pendidikan dasar terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya INPRES Pendidikan Dasar. Namun INPRES Pendidikan Dasar tidak ditindak lanjuti dengan peningkatan kualitas karena tujuan INPRES Pendidikan Dasar adalah kuantitas. Di dalam Orde Baru pendidikan telah dijadikan sebagai indikator palsu mengenai keberhasilan pemerintah dalam pembangunan.
Disamping perkembangan pendidikan tinggi dengan usaha – usahanya untuk mempertahankan dan meningkatkan mutunya. Pada masa ini muncul suatu gejala yaitu tumbuhnya secara menyendawan perguruan tinggi swasta dalam berbagai bentuknya.
4. Era Reformasi
Merupakan suatu transisi dengan tumbuhnya proses demokratisasi dalam masyarakat Indonesia yang juga memasuki dunia pendidikan nasional antara lain dengan lahirnya Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang telah menangkap perubahan – perubahan yang dikehendaki dalam masyarakat Indonesia saat ini: 1) desentralisasi sistem pendidikan dari sistem yang sentralistis menjadi suatu sistem yang desentralistis. Pendidikan bukan lagi merupakan tanggung jawab pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada tanggung jawab pemerintah daerah. 2) meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam menghadapi persaingan bebas dalam dunia yang terbuka abad ke- 21.
B. Standar Pendidikan: Sesuatu yang Perlu
Dalam konteks pendidikan nasional Indonesia, diperlukan standar yang perlu dicapai dalam waktu tertentu dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan. Diperlukan perumusan yang jelas, terarah dan fisible mengenai tujuan pendidikan. Rumusan tujuan dapat berupa tujuan ideal, tujuan jangka panjang, tujuan jangka menengah dan rencana strategis yang terlihat dengan keadaan dan waktu tertentu. Kualitas pendidikan nasional semakin meningkat , pertanyaan mengenai perlunya standarisasi pendidikan nasional dalam arti:
1. Standarisasi pendidikan nasional merupakan suatu tuntutan politik.
2. Standarisasi pendidikan nasional merupakan suatu tuntutan globalisasi.
3. Standarisasi pendidikan nasional merupakan suatu tuntutan dari kemajuan.
C. Profil Pendidikan Nasional Indonesia
Profil pendidikan Indonesia itu ternyata sangat kompleks. Berbeda dengan pendidikan di negara yang kurang lebih homogen, maka profil pendidikan Indonesia menunjukkan suatu profil yang sangat beragam oleh karena perbedaan yang mencolok antar daerah. Oleh sebab itu berbicara mengenai standar pendidikan nasional merupakan suatu yang niscaya.
Dalam teori perencanaan pendidikan ada tiga komponen yang menentukan standar pendidikan, yaitu:
1. Komponen standar kurikulum atau dikenal pula sebagai standar isi.
2. Standarisasi performance ( unjuk rasa )
3. Kesempatan belajar ( opportunity to learn- OTL )

BAB V
GERAKAN STANDARISASI: PENGALAMAN NEGARA LAIN
Garakan standarisasi di Amerika merupakan suatu gerakan reformasi pendidikan besar – besaran. Reformasi pendidikan melalui berbagai standar yang disusun mengalami banyak hambatan, antara lain:
1. Penyusunan standar nasional dirasakan bertentangan dengan nilai – nilai kehidupan demokrasi.
2. Nilai – nilai demokrasi yang dianut oleh masyarakat Amerika melalui konstitusinya melarang adanya standar nasional yang dipaksakan dari atas, dari pemerintah federal.
3. Masyarakat demokrasi Amerika adalah masyarakat yang disusun berdasarkan sistem merit ( merit system ).
4. Standar dunia.
Reformasi besar – besaran pendidikan Amerika meskipun mengalami hambatan – hambatan, terus dilaksanakan dengan penyusunan berbagai jenis standar. Persaingan global, tekanan politik, hegemoni sesudah perang dingin yang menempatkan Amerika satu – satunya sebagai super power, menuntut kualitas sumber daya manusia.
A. Desentralisasi dan Sentralisasi
Gerakan standarisasi ternyata terbentur dengan nilai – nilai demokrasi sebagai tradisi masyarakat Amerika. Namun demikian standarisasi telah merupakan suatu tuntutan nasional bahkan tantangan global terhadap supremasi Amerika.
Masalah lain yang dalam penentuan standar nasional ialah komponen – komponen dalam setiap standar. Pada umumnya ada 3 komponen standar yaitu :
1) standar isi, 2) standar performance, 3) standar proses atau delivery ( opportunity to learn).

B. Reformasi Pendidikan Melalui Standarisasi
Hal – hal positif yang telah dicapai dari gerakan reformasi, antara lain:
1. Terdapat harapan dari para siswa untuk berprestasi lebik baik.
2. Para siswa menemui tantangan yang akan diatasi sehingga memotivasi proses belajarnya.
3. Terjadinya pengelompokan yang lebih heterogen dari para siswa karena terarah kepada standar yang sama.
4. Para siswa lebih responsif atas kebutuhan keragaman kebutuhannya.
5. Para siswa lebih aktif belajar.
6. Terbentuk kelompok – kelompok belajar siswa ( small group learning ).
7. Performance para siswa lebih baik dari hanya menggunakan tes multiple choice.
8. Perkembangan berfikir kritis para siswa.
9. Siswa belajar untuk pengertian dan bukan sekedar untuk meningkatkan nilai.
10. Siswa mempelajari hal – hal yang esensial.
11. Waktu di sekolah banyak tersita untuk organisasi belajar.
12. Terjadi variasi dalam proses belajar mengajar.

C. Pengaruh Terhadap Profesionalisme Guru
Di dalam berbagai penelitian efek dari gerakan standarisasi terhadap profesionalisme guru tidak terlalu menggembirakan. Dalam hal ini timbul masalah program – program pembinaan guru. Beberapa penelitian ternyata hasil – hasilnya sebagai barikut:
1. Terdapat kontradiksi di dalam persepsi guru atas program – program peningkatan profesional guru.
2. Terdapat kontradiksi di dalam program pembinaan yang ingin mengumpulkan guru sebanyak mungkin dan oleh sebab itu program – program tersebut bersifat dangkal ( supervisial ).
3. Program – program pembinaan guru terasa kurang adanya tindak lanjut.
4. Program – program biasanya terbentuk “ telling and discussion “ yang sangat dangkal ( supervisial ).

D. Ke Arah World Class Quality
Pendidikan Amerika menuju pendidikan kelas dunia. Karena berbagai faktor seperti persaingan ekonomi dunia yang menuntut adanya daya kompetisi yang sangat tajam. Hal ini berarti peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kualitas utama dalam reformasi pendidikan Amerika.
Beberapa kesimpulan reformasi pendidikan Amerika pada dua dekade terakhir terlihat hal – hal sebagai berikut:
1. Standarisasi masih terus dalam proses pengembangan.
2. Reformasi pendidikan secara radikal tidak akan berhasil oleh sebab diperlukan waktu yang cukup panjang.
3. Pengertian mengenai standar masih juga belum dapat disepakati bersama.
4. Kunci keberhasilan standar adalah guru.
E. Lahirnya Industri Tes
Ketidakpuasan masyarakat Amerika terhadap sistem pendidikannya yang telah menelantarkan jutaan anak di dalam suatu masyasakat demokrasi, sistem pendidikan tersebut ternyata dikuasai oleh lembaga – lembaga tes dari koorporasi – koorporasi yang besar, antara lain:
1. Education Testing Service ( ETS )
2. Harcourt General Incorporated.
3. Houghton Mifflin.
4. National Computer System Incorporated.
5. California Test Bureau.

BAB VI
PERANAN TES DALAM STANDARISASI
Dalam standarisasi, evaluasi dan tujuan nasional, masyarakat Amerika Serikat adalah negara yang sangat percaya pada kemampuan tes bukan hanya dalam lingkungan sekolah tetapi dalam kehidupan masyarakat sehari – hari. Ketika reformasi pendidikan secara mendasar terjadi dua dekade yang lalu, tes telah membudaya hampir satu abad.

A. Tes dalam Mental Measurement
Penggunaan tes mental didasarkan kepada pandangan rasialistis yang menganggap imigran Eropa Timur yang dianggap sebagai turunan yang inferior.
Perkembangan mengenai tes intelegensi berkembang dengan pesat. Pada 1904 Menteri Pendidikan Perancis menugaskan kepada Alfred Binet untuk membedakan antara anak – anak normal dan abnormal. Dibantu dengan seorang dokter muda Simon, lahirlah apa yang terkenal tes Binet-Simon dengan skalanya. Skala intelegensi menurut Binet-Simon dengan cepat merambat ke Amerika Serikat.

B. Masuknya Tes Binet-Simon ke Amerika Serikat
Adalah Prof. Lewis M. Terman dari Universitas Stanford yang mengadakan perubahan – perubahan sesuai dengan kondisi masyarakat Amerika pada waktu itu. Lahirlah Stanford-Binet Scale. Dalam klasifikasi Spearman intelegensi manusia adalah sebagai berikut:
 > 140 genius,
 120 – 140 sangat superior,
 110 – 120 superior,
 90 – 110 normal/rata – rata,
 80 - 90 bodoh,
 70 – 80 dungu/lambat,
 < size="3">
Dalam penelitian Spearman ialah adanya hubungan antara IQ dengan kelas sosial. Anak – anak dari kelas sosial tinggi seperti profesor, pemimpin – pemimpin masyarakat dan perdagangan, cenderung mempunyai angka IQ yang tinggi. Semakin tinggi kelas sosial semakin tinggi pula angka IQ seseorang. Penyebab perbedaan tersebut diduga karena keturunan.
C. Mesin Akuntabilitas
Mesin akuntabilitas dalam bidang pendidikan ternyata telah dimulai sekitar 150 tahun yang lalu pada pertengahan abad ke- 19 oleh State of Massachusetts. Horace Mann, pelopor pendidikan universal di negara bagian Massachusetts yang menyatakan bahwa perlu ada suatu sistem pendidikan yang dapat dikontrol, dikelola secara efisien. Dengan tes yang dimandatkan oleh negara bagian, maka akan terjadi suatu sistem pendidikan yang efisien dalam melaksanakan pendidikan universal.
Gerakan anti tes dalam pengertian sempit yang hanya menggunakan mental tes seperti SAT dalam seleksi masuk universitas yang sangat terkenal. Berbeda dengan cara – cara tradisional, dalam penggunaan mental tes seperti SAT , tidak semata – mata ditekankan kepada tes objektif saja. Bahkan pada seleksi kelompok pertama dengan menggunakan tes objektif diambil bukan hanya tergolong grup dengan nilai A tetapi juga yang termasuk nilai B. Dari kelompok yang relatif banyak tersebut memasuki seleksi tahap kedua dalam bentuk interview yang mendalam, bertujuan bukan hanya sekedar menyeleksi calon – calon peserta didik yang mempunyai rekor akademik tinggi tetapi juga yang diharapkan menjadi seorang ahli yang kompeten. Interview tersebut bukan hanya dilakukan oleh satu tim yang terdiri dari pengajar tetapi juga dari pemuka – pemuka masyarakat serta para cendikiawan lainnya. Hasil seleksi dari interview ini dipilih untuk memasuki interview tahap kedua, yang ditekankan kepada attitude seseorang calon peserta didik. Dari hasil interview kedua itulah ditetapkan calon – calon peserta didik yang diterima.

BAB VII
PERLUKAH STANDARISASI PENDIDIKAN ?
Standarisasi Pendidikan Nasional Indonesia dalam Era Transisi
Undang – Undang Dasar kita mengatakan bahwa pemerintah menyusun dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang dewasa ini telah dirumuskan di dalam Undang – Undang No. 20 Tahun 2003. Sebagai suatu sistem tentunya diperlukan sutau patokan atau ukuran sampai di mana sistem tersebut barhasil atau tidak. Adanya satu sistem pendidikan nasional termasuk di dalam evaluasinya merupakan salah satu sarana untuk kohesi sosial.
Demokrasi memerlukan sistem pendidikan yang menopang lahirnya dan berlakunya pengembangan masyarakat. Masyarakat demokrasi di samping adanya lembaga – lembaga demokratis bertumpu pada perorangan yang merdeka dan bertanggung jawab terhadap kehidupan bersama.
Pendidikan sebagai tempat untuk mempersiapkan generasi muda sebagai anggota masyarakat yang demokratis haruslah merupakan wewenang lokal yang akan menentukan standar dari pendidikan.
Seperti kita ketahui dan menyadarinya, bahwa mutu pendidikan nasional sudah jauh tercecer dari bangsa – bangsa lain termasuk negara – negara tetangga. Hal inilah yang menimbulkan hasrat besar untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan nasional. Langkah yang terkenal itu antara lain lahirnya Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional yang antara lain melalui Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 dinyatakan perlunya diadakan standarisasi pendidikan nasional.
Saat ini dalam masyarakat timbul polemik yang hangat mangenai Ujian Nasional sebagai upaya untuk melaksanakan standarisasi nasional. Ada pro dan kontra terhadap penyelenggaraan Ujian Nasional yang dianggap bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
A. Standar Nasional Pendidikan: Suatu Keperluan
Lembaga pendidikan nasional merupakan institusi publik untuk mewujudkan suatu tujuan bersama ialah mencerdaskan kehidupan manusia Indonesia. Lahirnya PP No. 19 Tahun 2005 sebagai penjabaran dari UU No. 20 Tahun 2003 mengupayakan adanya standar nasional.
Terdapat tiga alasan mengapa standar nasional pendidikan diperlukan:
1. Indonesia sebagai Negara berkembang. Sebagai suatu negara berkembang Indonesia tergolong negara yang masih miskin. Oleh sebab itu pula tidak mengherankan apabila tingkat pendidikannya belum mencapai sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat modern. Hal ini dapat dilihat pula dalam alokasi dana pendidikan nasional maupun daerah. Dana yang tersedia ataupun komitmen pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan pendidikan sebagai sarana untuk mewujudkan negara demokratis dapat dikatakan minim.
2. Sebagai Negara Kesatuan kita memerlukan suatu penilaian kinerja sistem pendidikan nasional. Undang – Undang dasar kita mengatakan bahwa pemerintah menyusun dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang dewasa ini telah dirumuskan di dalam Undang – Undang No. 20 Tahun 2003. Adanya suatu sistem pendidikan nasional termasuk di dalam evaluasinya merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kohesi sosial. Tanpa adanya suatu sistem lebih – lebih dalam negara Indonesia yang bhinneka, maka tujuan untuk mempersatukan bangsa Indonesia akan menemui kesulitan. Misalnya kebutuhan untuk memiliki, menjaga, mengembangkan dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan nasional.
3. Anggota masyarakat global. Sebagai anggota masyarakat global, Negara Indonasia berada dalam pergaulan antar-bangsa lebih – lebih dalam kemajuan teknologi komunikasi dan informasi saat ini. Dalam pergaulan global terbuka itu dapat saja terjadi arus pertukaran manusia, arus sumber daya manusia yang tinggi yang dapat bersaing dengan bangsa – bangsa lain. Selain daripada itu untuk dapat survive dalam dunia yang terbuka itu kualitas bangsa Indonesia harus dapat bersaing sehingga tidak menjadi budak dari bangsa lain. Kualitas pendidikan merupakan indikator mutlak dalam persaingan internasional.
4. Fungsi standar nasional pendidikan. Adalah untuk pengukuran kualitas pendidikan. Standar tersebut tentunya bukan merupakan ukuran yang statis, tetapi semakin lama semakin ditingkatkan. Standar nasional pendidikan adalah standar yang bergerak maju.
5. Fungsi standar adalah pemetaan masalah pendidikan. Standar seakan – akan telah menjadi milik monopoli dari birokrasi pendidikan sehingga peserta didik semata – mata menjadi objek dari kekuasaan birokrasi. Akibatnya sangat jauh oleh karena proses dapat terarah hanya kepada mempersiapkan ujian yang telah ditentukan oleh birokrasi pendidikan dan bukan merupakan suatu proses belajar yang berkesinambungan yang diadakan secara berkala oleh guru di depan kelas.
6. Fungsi standar nasional pendidikan adalah penyusunan strategi dan rencana pengembangan sesudah diperoleh data – data dari evaluasi balajar secara nasional seperti Ujian Nasional.
B. Ujian Nasional: Sarana Kontrol Standarisasi Nasional Pendidikan
Standar adalah patokan. Sewaktu – waktu tingkat pencapai standar tersebut perlu diketahui sampai di mana efektivitasnya. Ujian Nasional atau evaluasi nasional tentunya tidak perlu meliputi seluruh standar isi, sebab tentunya hal tersebut meminta biaya dan tenaga yang luar biasa. Karena sifatnya sekedar untuk memberikan gambaran peta permasalahan pendidikan secara nasional, maka dipilihlah beberapa mata pelajaran yang esensial, seperti Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Alam, Sejarah, dan Geografi.
Evaluasi mengenai standar nasional pendidikan ternyata pertama – tama terletak pada guru. Guru itulah yang mengadakan evaluasi yang berkesinambungan mengenai sampai di mana peserta didik telah mencapai standar isi atau kurikulum.
Dalam rangka otonomi daerah telah kita ketahui bahwa pendidikan dasar dan menengah merupakan wewenang pemerintah daerah. Wajib belajar 9 tahun tentunya akan mengubah wajah proses evaluasi. Inilah pula yang harus merupakan tuntutan dari wajib belajar berkualitas.
Evaluasi Nasional dan Pendidikan Tinggi
Hasil evaluasi nasional pendidikan mempunyai makna yang lain bagi peserta didik yang akan melanjutkan ke tingkat pendidikan tinggi. Perguruan tinggi mempunyai status yang otonom sehingga untuk memasukinya tergantung kepada masing – masing perguruan tinggi. Sudah tentu dalam era globalisasi, perguruan tinggi akan berlomba – lomba dalam meningkatkan kualitasnya. Salah satu kriteria untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi ialah seleksi masuk.
 Standarisasi nasional pendidikan dalam masa transisi merupakan suatu keharusan dalam rangka untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
 Standarisasi dan standar nasional pendidikan merupakan salah satu item dari sistem pendidikan nasional.
 Standarisasi nasional pendidikan merupakan sarana untuk kohesi nasional.
 Evaluasi dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan bukan berarti alat birokrasi untuk kekuasaan tetapi untuk kepentingan peserta didik.
 Standar nasional pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan mutu pendidikan bukannya bertujuan untuk memasung proses pemberdayaan peserta didik tetapi bertujuan memacu inisiatif belajar kreatif.
 Evaluasi standar nasional pendidikan meminta guru profesional yang menguasai proses dan teknik evaluasi.
 Hasil dari ujian akhir yang diselenggarakan oleh negara ( UN ) adalah upaya peta permasalahan pendidikan nasional dalam rangka penyusunan kebijakan pendidikan nasional.
Dalam peta permasalahan tersebut kuncinya adalah kualitas guru. Oleh sebab itu peningkatan kualitas guru merupakan upaya yang utama dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Sarana yang baik belum tentu menghasilkan mutu pendidikan yang tinggi, tetapi guru profesional yang baik dan bermutu pasti akan dapat meningkatkan mutu pendidikan.
BAB VIII
PRO DAN KONTRA STANDARISASI PENDIDIKAN DAN DEMOKRASI
Standarisasi pendidikan dalam pelaksanaanya ternyata bukan hanya sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pendidikan tetapi juga berfungsi sebagai pemerataan pendidikan bermutu.
Pendidikan, khususnya pendidikan formal, menurut pendapat sementara pakar merupakan penemuan besar dalam sejarah kebudayaan manusia. Sejalan dengan itu pula wajib belajar telah merupakan pendukung dari berkembangnya ideologi demokrasi yang memandang pendidikan sebagai hak dari setiap warga negara yang merdeka sehingga dapat menyumbangkan pikiran dan kemampuannya untuk kepentingan bersama.
Banyak pemikir yang menghubungkan pendidikan dalam pembangunan masyarakat demokrasi. Para pemikir Jean Jacques Rousseau, Johan Heinrich merupakan pelopor – pelopor dari pemikiran yang progresif yaitu melihat pendidikan formal sebagai sarana untuk mewujudkan masyarakat dan negara demokrasi.
Adalah pemikir – pemikir Condillac, Diderot, Rousseau yang mengatakan bahwa manusia dilahirkan sebagai makhluk yang baik, mempunyai kemampuan untuk meningkatkan hidupnya sendiri. Kemampuan manusia untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan menggunakan sains untuk menemukan kebenaran atau prinsip – prinsip umum menguasai alam. Demikian pula akal manusia dapat mengadakan perubahan – perubahan sosial, politik, ekonomi dan lembaga – lembaga pendidikan dijadikan sebagai titik tolak dalam perubahan tersebut.
Gerakan progresif secara umum berdasarkan kepada lima prinsip:
1. Mengidentifikasikan masalah – masalah dan menelitinya secara scientific serta terbuka.
2. Memberikan informasi serta pendidikan terhadap publik terlebih melalui media masa ( investigate journalism )
3. Mendiskusikan dan menstrukturasikan masalah – masalah yang dihadapi.
4. Mengusulkan dan membuat undang – undang dalam memperbaharui situasi.
5. Menetapkan peraturan – peraturan untuk implementasi serta follow up dari kebijakan publik tersebut.
Gerakan progresif dalam pendidikan mempunyai tiga agenda besar:
1. Menolak segala bentuk formalisme, rutinitas dan birokrasi yang menghilangkan gairah belajar dalam sekolah.
2. Menemukan dan mengimplementasikan metode – metode inovatif dalam belajar dan mengajar yang difokuskan kepada minat dan kebutuhan peserta didik.
3. Mengprofesionalisasikan proses mengajar serta pengolahan pendidikan.
Pendidikan progresif menjadi pelopor dari metode – metode belajar yang terkenal “ Learning by doing. “
A. Demokrasi dan pendidikan
a. Tinjaun Filsafat
Progresivisme lahir dari aliran filsafat pragmatisme. Pada dasarnya Progresivisme, seperti juga pragmatisme, menolak pandangan – pandangan filsafat yang bertalian dengan paham idealisme, realisme dan thomisme. Pandangan – pandangan filsafat tersebut berdasarkan suatu pandangan metafisis yang beranggapan bahwa realitas telah ada dan tujuan pendidikan ialah membantu akal manusia dalam mewujudkan apa yang telah ada dan tersebut.
Bagi Progresivisme peserta didik haruslah mengkonstruksi pengetahuan dan kepercayaannya sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya.
Progresivisme serta liberalisme mempunyai pandangan yang sama. Paham liberalisme yang juga dianut oleh progresivisme ialah komitmennya terhadap perubahan yang terjadi melalui proses perubahan yang bertingkat ( gladual ). Perubahan tersebut lahir dari dialog, debat, pertukaran pendapat, kebebasan untuk menyatakan pendapat.
Dengan demikian aliran pragmatisme pendidikan menolak praksis pendidikan berupa:
1. Mengajar secara formal dan berjalan secara rutin.
2. Melaksanakan kurikulum yang telah ditentukan terlebih dahulu yang menekankan kepada mata pelajaran dibandingkan dengan kebutuhan dan minat peserta didik yang spontan.
3. Menolak situasi – situasi kompetitif yang melahirkan suasana permusuhan di antara peserta didik.
4. Proses belajar yang diarahkan kepada ujian.
5. Insentif eksternal dalam proses belajar seperti hadiah dan hukuman, serta praktik – praktik pendidikan yang sifatnya eksplisit sehingga tidak memacu proses belajar yang sebenarnya.
b. Masyarakat Demokratis Mensyaratkan Anggota yang Terdidik
Dalam proses demokrasi tentunya kekerasan ( violence ) bukanlah suatu solusi. Kesepakatan yang dicapai bukanlah suatu kemenangan bagi kelompok yang mengemukakannya serta kekalahan dari kelompok yang menentangnya, tetapi merupakan suatu kebanggaan bersama karena ditujukan kepada mewujudkan keadilan.
Menurut Giddnes proses demokrasi merupakan suatu proses yang rasional. Oleh sebab itu dibutuhkan anggota – anggota dalam masyarakat yang demokratis mempunyai kemampuan untuk menimbang dan mengambil keputusan yang paling rasional dan menguntungkan seluruh masyarakat. Sudah dapat diterka bahwa anggota masyarakat yang demikian adalah masyarakat terdidik. Masyarakat yang terdidik atau cerdas adalah masyarakat yang terbuka yang dapat melihat secara transparan dan jernih keputusan yang diambil bersama serta melaksanakan keputusan tersebut. Inilah prinsip akuntabilitas dalam mayarakat demokratis di mana kekuasaan bukan merupakan penerapan keinginan dari sekelompok kecil yang duduk dalam pemerintahan atau tampuk kekuasaan, tetapi keputusan yang akuntabel yang telah lahir dari bawah.
Amanat UUD 1945 mengatakan bahwa pemerintah akan mewujudkan suatu sistem pendidikan yang mencerdaskan rakyat. Pendidikan yang mencerdaskan rakyat adalah pendidikan yang membawa warga negaranya sebagai anggota masyarakat demokratis. Proses pendidikan yang demikian bukanlah proses indoktrinasi tetapi menyadarkan rakyat akan hak – haknya dan memberikan kemampuan pada rakyat untuk secara bersama – sama mewujudkan keadilan dan kemakmuran bersama.
Masyarakat demokratis bukanlah suatu masyarakat yang mengakui tirani dari mayoritas, tetapi tenggang rasa baik dari kelompok mayoritas maupun kelompok minoritas.
c. Manusia Cerdas
Suatu masyarakat demokratis dapat dibangun melalui hasil pendidikan dari manusia Indonesia cerdas. Hanya manusia cerdas yang melihat implikasi moral dari setiap keputusan yang ditarik dari dialog bersama.
Pendidikan untuk warga negara yang demokratis menurut Dewey adalah pendidikan yang menempatkan nilai yang tinggi terhadap kualitas open mindedness, toleransi terhadap kebhinnekaan, fairness, pengertiaan yang rasional, hormat terhadap kebenaran dan keputusan yang kritis ( ciritical judgement ).
Proses belajar mengajar di sekolah bukanlah semata – mata untuk pendidikan intelektual tetapi pengembangan sikap demokratis yaitu manusia yang bukan sekedar tahu banyak tetapi mengembangkan intelegensinya sebagai anggota masyarakat yang bertanggung jawab. Peserta didik bukan sekedar mengembangkan akademiknya tetapi yang dapat memanfaatkan kemampuan akalnya di dalam mempertimbangkan keputusan – keputusan yang bermanfaat bukan hanya bagi diri sendiri tetapi untuk masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan penggunaan akal secara relatif.
Pendidikan demokratis mempunyai dua pengertian yaitu proses pendidikan itu sendiri dan sistem pendidikan.
Proses pendidikan demokratis ditujukan kepada pengembangan pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. Pendidikan untuk pribadi mandiri merupakan suatu proses yang mengembangkan akal budinya agar pribadi tersebut dapat mengambil keputusan sendiri yang berarti pula mempertajam kemampuan rasionya untuk menimbang – nimbang dan mengambil keputusan. Inilah sikap seseorang yang mandiri dapat menempatkan dirinya dalam arus perubahan global yang sangat cepat secara mandiri. Sikap ini ialah sikap yang dapat membangun suatu masyarakat modern yang reflektif, tidak sekedar membuang segala sesuatu yang berbau lokal atau tradisional tetapi secara reflektif menimbang – nimbang hal – hal baru yang terjadi dan memanfaatkan serta mengembangkan tradisi yang masih relevan dengan perubahan zaman. Manusia mandiri macam inilah yang akan menjadi anggota masyarakat yang demokratis bertanggung jawab.
Proses belajar mengajar dalam pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan reflektif tersebut dengan mengakses berbagai jenis informasi dan dari informasi yang memadai itulah dapat dilakukan pertimbangan – pertimbangan untuk mencapai keputusan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.
Pengertian pendidikan demokratis juga berarti bahwa sistem pendidikannya adalah sistem yang demokratis. Hal ini berarti suatu sistem yang misalnya membedakan antara jalur pendidikan untuk anak – anak dari golongan ekonomi kuat dan dari golongan ekonomi lemah merupakan suatu pengkhianatan terhadap pendidikan demokratis. Amanat UUD 1945 untuk menyediakan dana yang secukupnya untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional yang bermutu tinggi harus direalisasikan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dasar yang bebas dan bermutu untuk semua rakyat.
d. Pendidikan yang Berpusat kepada Anak dan Masyarakat ( Child and Society Centered Education )
Progresivisme merupakan suatu gerakan perubahan sosial. Tujuan perubahan tersebut dapat dicapai apabila anggota masyarakatnya diajak berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pembangunan masyarakatnya. Progresivisme menentang kehidupan masyarakat yang otoriter. Untuk menciptakan kehidupan yang demokratis maka anggotanya haruslah dapat berdiri sendiri, merefleksikan keadaan sekitarnya dan mengubahnya untuk tujuan bersama.
Pendidikan demokratis berpusat kepada individu tetapi juga yang diarahkan kepada kemaslahatan hidup bersama. Inilah prinsip pendidikan yang terpusat kepada anak dan masyarakat ( child and society centered education ).
Manusia hanya menjadi manusia dalam kebersamaan dengan sesama manusia. Oleh sebab itu, pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang menghormati akan kebutuhan dan minat anak sebagai pribadi tetapi sekaligus pula perkembangannya diarahkan kepada kehidupan sosial atau kehidupan bersama.
e. Pedagogik Kesetaraan ( Equity Pedagogy )
Pendidikan demokratis dalam pengertiannya menuntut suatu pandangan manusia tertentu. Pandangan manusia yang membeda – bedakan harkat manusia berdasarkan keturunan, asal – usul, agama, ataupun berdasarkan kelas sosial, bertentangan dengan paham demokratis mengenai manusia.
Pedagogik kesetaraan tidak membedakan manusia atas perbedaan – perbedaan kelas sosial ataupun gender tetapi manusia mempunyai harkat yang sama sehingga mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan yang sama berdasarkan kemampuannya masing – masing. Hal ini berarti pula bahwa sistem pendidikan berdasarkan pedagogik kesetaraan adalah sistem yang memperhatikan semua bentuk dan kemampuan manusia seperti berjenis – jenis intelegensi yang dimiliki oleh perorangan. Pedagogik kesetaraan tentunya tidak mempunyai tempat dalam suatu masyarakat kolonial atau masyarakat yang disusun berdasarkan kasta, perbedaan gender yang mendiskriminasikan pendidikan untuk perempuan. Demikian pula pendidikan yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai kemampuan dalam bidang matematika dan fisika lebih tinggi dari kelompok yang mempunyai bakat dalam bidang musik atau keterampilan lainnya. Pedagogik kesetaraan menghargai akan perbedaan yang dimiliki oleh setiap manusia.
f. Pedagogik Kritis ( Critical Pedagogy )
Pedagogik kritis menekankan kepada pembentukan kemampuan analitik serta kemajuan yang dicapai melalui berfikir refleksif. Berfikir kritis tidak dapat menerima status quo tetapi perubahan yang terus – menerus dan oleh sebab itu antara pribadi dan lingkungannya terjadi suatu dialog yang dinamis. Dialog yang dinamis hanya muncul dalam pengalaman.
Pedagogik kritis mempertanyakan sesuatu yang telah dianggap benar. Manusia tidak pernah mencapai kebenaran oleh sebab kebenaran hanya dilihat dalam kenyataannya. Apabila kebenaran merupakan suatu yang tertunda maka ini berarti proses dialog dalam kehidupan bermasyarakat akan terus – menerus berlaku secara berkesinambungan.
Moralitas pedagogik kritis justru terletak pada pribadi yang melaksanakan ketentuan – ketentuan moral tersebut yang telah dimilikinya sendiri. Pedagogik kritis bukannya suatu pedagogik tanpa pengakuan akan moralitas manusia. Moralitas dalam praktis pendidikan adalah nilai – nilai yang sacara nyata tampak dalam pengalaman seseorang. Pedagogik kritis bukannya tidak mengakui adanya kebenaran mutlak, tetapi kebenaran bukanlah sekedar simbolis belaka tetapi kebenaran yang diwujudkan dalam hidup keseharian manusia.
B. Pro dan Kontra Standarisasi Pendidikan
Standarisasi berkembang sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya industri modern, kemajuan akal manusia, dunia yang terbuka, lebih – lebih dalam era globalisasi saat ini, orang cenderung menbandingkan kehidupannya dengan masyarakat sekitarnya bahkan masyarakat global.
Kualitas sumber daya manusia yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan telah merupakan suatu kebutuhan. Pendidikan telah merupakan suatu komunitas bisnis dan dipaksa untuk meningkatkan mutu pendidikannya dalam arti dapat menghasilkan tenaga – tenaga yang bermutu tinggi dan berketerampilan yang up to date. Wabah standarisasi terus berjalan dan tampaknya akan meliputi segala aspek kehidupan tidak terkecuali dunia pendidikan.
Pro Standarisasi Pendidikan
Pada umunya kelompok yang mempercayai standarisasi pendidikan meningkatkan proses belajar peserta didik tetapi dengan kondisi tertentu. Kelompok ini menyetujui adanya standarisasi pendidikan apabila standar tersebut memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
1. Standar yang akan dilaksanakan merefleksikan kebijakan ( wisdom ) dari orang tua dan guru.
2. Penyusunan dan penerapan standar isi atau kurikulum haruslah secara berhati – hati.
3. Standar yang telah ditentukan hendaknya dapat dilaksanakan oleh guru profesional.
4. Kemajuan akademik di sekolah tidak dapat semata – mata diukur melalui tes akhir atau ujian akhir.
5. Standar haruslah memberikan kesempatan yang sama untuk semua peserta didik.
Para pakar yang sangat menyetujui penetapan standar pendidikan berpendapat, sebagai berikut:
1. Standarisasi berfungsi sebagai penuntun ( guideline ) bagi guru dalam mengadakan perubahan global.
2. Standarisasi berisi suatu kewajiban moral untuk memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik.
3. Standarisasi yang bersifat nasional akan menghindari keinginan – keinginan pribadi guru.
4. Adanya standar nasional mencegah kontrol lokal yang berlebihan.
5. Standarisasi pendidikan dirasakan suatu kebutuhan karena tuntutan masyarakat yang berubah dengan cepat.
6. Standarisasi pendidikan akan memberikan akuntabilitas pendidikan.
Kontra tehadap Standarisasi Pendidikan
Apabila standarisasi bertujuan untuk mencapai suatu yang umum atau sama bagi peserta didik, kelompok kontra terhadap standarisasi mementingkan adanya perbedaan dalam masyarakat demokrasi.
Standarisasi pendidikan dalam menurut kelompok ini dapat merupakan suatu bentuk penipuan terselubung. Misalnya, kita lihat dalam apa yang disebut “ sekolah – sekolah plus “ yang hanya dapat dimasuki oleh peserta didik dari golongan ekonomi kaya. Standar yang diterapkan di sini adalah suatu standar penipuan yang menjual mutu pendidikan dengan biaya tinggi tetapi mengorbankan nilai – nilai kemanusiaan.
Sebagai keseluruhan, kelompok kontra standarisasi pendidikan berpendapat bahwa standar diperlukan tetapi sebagai pedoman untuk kelompok peserta didik dari lapisan masyarakat berpenghasilan rendah agar mendapatkan perhatian dalan meningkatkan taraf hidup dan mutu pendidikan.
Apabila standarisasi pendidikan mengkhawatirkan akan bahaya kontrol lokal, maka hal tersebut juga berlaku untuk kontrol negara yang berlebihan. Dalam hal ini dirasakan perlu mencari solusi yang seimbang antara kontrol lokal dengan kontrol negara. Demikian pula perlunya standarisasi pendidikan sebagai pemetaan masalah – masalah yang dihadapi dalam pendidikan secara menyeluruh namun evaluasi proses belajar – mengajar tidak melupakan perenan guru sebagai orang pertama yang mengetahui kemajuan belajar peserta didik.
BAB IX
STANDARISASI MANUSIA ABAD 21 ?
MANUSIA INDONESIA PANCASILA YANG DAPAT MEMILIH
A. Tiga Kekuatan yang Mempengaruhi Kehidupan Individu Abad 21 ( Era Globalisasi )
Menurut penulis terdapat tiga kekuatan basar yang mempengaruhi perkembangan individu Indonesia saai ini:
1. Masyarakat Madani ( Civil Society )
Dalam civil society seorang individu mengenal hak dan kewajiban sebagai anggota keluarganya, anggota masyarakat lokalnya, anggota kebudayaan lokalnya, dan seterusnya merupakan anggota dari masyarakat Indonesia. Masyarakat madani seseorang pertama – tama mengenal akan nilai – nilai kehidupan juga hak asasinya sebagai anggota keluarga dan anggota sukunya serta pembentukan identitas seseorang.
Saat ini masyarakat madani berarti lebih luas yaitu pengakuan terhadap kebebesan individu tetapi juga keajiban sari setiap individu terhadap keanggotaannya dalam keluarga dan masyarakatnya. Di sinilah seorang individu dianggap bukan hanya sebagai nomor dalam statistik tetapi sebagai manusia seutuhnya yang diakui keberadaannya sama dengan sesamanya.
2. Negara – Bangsa ( Nation – State )
Dalam revolusi 1945, founding father kita telah meletakkan pengertian yang lebih modern, terhadap negara – bangsa. Di dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia telah digariskan mengenai cita – cita bangsa Indonesia sebagai suatu imagined community yang harus dibangun. Cita – cita tersebut tidak lain adalah membangun masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah nilai – nilai luhur yang digali dari kebudayaan Indonesia yang bhinneka serta berikrar untuk secara bersama – sama membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Diakui founding father kita akan keragaman bangsa Indonesia namun keragaman tersebut bukan merupakan penghalang untuk mempersatukannya demi untuk mencapai tujuan bersama yaitu masyarakat yang adil dan makmur.
Kenichi Ohmae menyatakan bahwa batas – batas negara-bangsa dalam pengertian geografis perlu diubah kerena kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Implikasi dalam kemajuan tersebut ialah perkembangan perdagangan bebas sehingga interaksi antara manusia menjadi lebih cepat.
Menghilangnya seakan – akan, batas antara negara-bangsa bukan berarti lenyapnya negara di muka bumi. Negara akantetap eksis sepanjang ada kesepakatan dari warga negaranya untuk mempertahankan dalam keterikatan barsama.
3. Globalisasi
Globalisasi telah megubah cara hidup individu demikian pula negara dan masyarakatnya. Setiap orang hanya mempunyai dua pilihan yaitu memilih dan menempatkan dirinya dalam arus perubahan globalisasi atau hanyut dibawa arus gelombang globalisasi yang anonim. Pada dasarnya globalisasi merupakan suatu perubahan dalam kehidupan ekonomi dunia yang dalam kenyataannya dikuasai oleh perusahaan – perusahaan raksasa yang banyak kali melihat lagi kepentingan atau ketimpangan – ketimpangan yang masih ada.


Globalisasi dapat Mengarah kepada Dehumanisasi
Di tangah – tengah ketiga kekuatan inilah seorang pribadi, seorang Indonesia, berkembang dan hidup. Kelanjutan hidupnya ditentukan oleh sampai di mana seorang menempatkan diri dalam kekuatan – kekuatan tersebut.
B. Individu dalam Tripartit Negara-Masyarakat Madani dan globalisasi
Seorang individu dalam masyarakat era globalisasi saat ini berada di tengah – tengah suatu segi tiga kekuatan ( tripartit ) yaitu masyarakat madani, negara-bangsa dan globalisasi.
Apabila seorang individu hanya bersandar kepada keanggotaannya dalam masyarakat madani maka cenderung kepada nilai – nilai primordialisme. Dia mempunyai pandangan hidup atau agama yang dikenalnya sejak lahir. Dia merasa dirinya sendiri sebagai anggota kelompoknya yang terdekat. Inilah primordialisme. Dengan kata lain seorang yang hidup dalam nilai – nilai primordialisme adalah hidup dalam dunia tertutup.
Era Reformasi
Dalam era reformasi ketimpangan – ketimpangan pada Orde Baru sebalumnya yantu kebebasan individu dikembalikan. Kini masih terus berada dalam masa transisi di mana kita mencari bentuk – bentuk demokrasi yang sesuai dengan masyarakat Indonesia.
Kini konsep negara-bangsa ( nation-state ) sejalan dengan proses demokratisasi di Indonesia saat ini juga dalam proses pendefinisiaan kembali.



Globalisasi
Nilai – nilai positif antara lain adalah terbentuknya satu dunia yang baru. Dunia yang melahirkan banyak resiko maskipun juga tentunya melahirkan banyak tantangan dan kesempatan. Seperti yang kita lihat masyarakat madani juga mengandung bahaya yaitu persfektifnya yang mengarah kepada altruisme sempit serta masyarakat tertutup. Masyarakat madani menberikan perlindungan terhadap nilai – nilai primordial dan sikap ini tentunya berlawanan dengan dunia modern yang memerlukan kehidupan yang inklusif dan bukan persaingan tetapi kerja sama. Tetapi nilai – nilai kerja sama dalam batas – batas tertentu tidak dapat menolong seorang individu dalam kehidupan yang penuh persaingan.
C. Manusia Indonesia Abad Ke-21: Manusia Cerdas
Dalam pembukan UUD 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan mendirikan Republik ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Manusia Indonesia cerdas bukanlah manusia yang hanya mementingkan kelompok, suku, agama, kelompok sosial tertentu atau keanggotaannya dalam suatu partai politik tertentu, tetapi manusia Indonesia cerdas pertama – tama haruslah seorang Indonesia. Jadi manusia Indonesia cerdas adalah manusia yang bermoral Pancasila. Apabila kita rinci manusia Indonesia cerdas adalah sebagai berikut:
1. Manusia Indonesia cerdas adalah anggota masyarakat yang berbudaya.
2. Bertalian erat dengan nilai – nilai Pancasila yaitu kepemilikan akan identitas Indonesia.
3. “ Indonesia “ bukanlah suatu pengertian yang beku tetapi sesuatu yang dinamis yang masih perlu dikembangkan dan dihidupkan.
4. Manusia Indonesia cerdas haruslah mempunyai orientasi terhadap perubahan global.
5. Manusia cerdas adalah manusia yang mandiri.
6. Manusia cerdas bukan hanya memiliki kemampuan intelegensi tinggi karena telah dikembangkan tetapi juga disertai dengan pertimbangan – pertimbangan moral.
D. Kritik terhadap Kebijakan Pendidikan Nasional
Pemilihan strategi pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan bersaing dari manusia Indonesia tentunya merupakan suatu tujuan yang baik. Dlam mengejar tujuan tersebut orang dapat saja jatuh dalam kerakusan yang meninggalkan nilai – nilai kemanusiaan. Suatu proses dehumanisasi.
Manusia Indonesia cerdas adalah proses bersifat kemanusiaan karena di samping kemampuan intelegensi dikembangkan, juga pertimbangan – pertimbangan moral kemanusiaan yang membawa seorang pribadi bertanggung jawab dalam kehidupan sekitarnya, kehidupan sebagai warga negara Indonesia dan kehidupan sebagai warga negara dunia.
Di samping kontra terhadap ujian nasional sebagai kebijakan tanpa arah yang tegas, ujian nasional bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di mana guru adalah instansi pertama yang berhak mengadakan penilaian atau evaluasi terhadap hasil belajar peserta didiknya. Selain daripada itu ujian nasional hanya menguji tiga mata pelajaran yaitu: 1) Bahasa Indonesia, 2) Bahasa Inggris, 3) Matematika. Suatu hal yang dilupakan tetapi sangta penting dalam memupuk rasa kebangsaan dalam suatu negara-bangsa dalam era global yaitu mata pelajaran Sejarah Nasional dan Geografi Nasional.

BAB X
STANDARISASI, KUALITAS PENDIDIKAN, AMANAT KONSTITUSI
Menurut pemerintah, ujian nasional perlu dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah ( PP ) No. 19 Tahun 2006 yang mengatakan antara lain “ pendidikan nasional perlu ditentukan standarnya. “ Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan ialah menentukan standar, menaikkan standar setiap tahun melalui ujian nasional.
Menurut penulis ada lima masalah besar yang perlu dihadapi dalam menyongsong komitmen dana pendidikan nasional sesuai dengan amanat konstitusi, yaitu:
1. Adanya rencana pemerintah yang mantap berdasarkan pemetaan permasalahan pendidikan.
2. Kesiapan birokrasi pemerintah baik pusat maupun daerah.
3. Pelaksanaan wajib belajar di daerah serta anggaran dan sumber daya manusia di daerah.
4. Sasaran tembak: guru.
5. Badan Standarisasi Nasional Pendidikan ( BSNP ): gurita kekuasaan.
A. Rencana yang Mantap dalam Pengembangan Pendidikan Berdasarkan Peta Permasalahan Pendidikan
Sejak disahkannya Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mestinya telah disiapkan atau mulai disiapkan suatu grand design pembangunan pendidikan sesuai dengan cita – cita reformasi. Namun demikian hal ini tidak terlaksana. Meskipun sejak semula telah diperingatkan bahwa ujian negara dalam bentuknya yang tradisional tidak sesuai dengan jiwa UU No. 20 Tahun 2003. Tetapi UAN atau yang kemudian menjadi ujian nasional ( UN ) tetap dilaksanakan.
Masalah lain yang dihadapi adalah terjadinya perubahan mekanisme perencanaan pembangunan nasional. Kerancuan dalam mekanisme penyusunan rancangan – rancangan tersebut tentunya sangat merugikan dalam membenahi pendidikan nasional.
Dalam kaitan ini pula terletak tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk membimbing evaluasi proses pendidikan di daerah serta membina suatu sistem nasional yang dapat meningkatkan mutu pendidikan di daerah sebagai sub-bagian dari sistem pendidikan nasional. Bimbingan pemerintah pusat bukan berarti penataan yang sentralistis dalam melaksanakan pendidikan dasar dan menengah, tetapi memberikan arah yang jelas dari berjenis – jenis kebutuhan dan program daerah ke arah tujuan nasional yaitu negara Indonesia yang kuat dan bersatu.
B. Kesiapan Birokrasi Pusat dan Daerah
Suatu sistem pendidikan hanya dapat dilaksanakan dan berhasil mencapai sasarannya atau mewujudkan visi dan misi sistem tersebut apabila didukung oleh dana yang memadai. Hal ini berarti dana tersebut harus dapat digunakan secara efisien dan efektif.
Demikian pula para pelaksana program tersebut telah dipersiapkan sehingga mempunyai kemampuan – kemampuan untuk melaksanakannya secara efisien. Hal ini berlaku untuk birokrasi pendidikan nasional baik daerah maupun pusat.
Bardasarkan peta permasalahan pendidikan dapat ditemukan hal – hal mana saja yang mendapatkan prioritas untuk ditangani. Dana pemerintah pusat bukan semata – mata untuk kepentingan birokrasi pusat tetapi kepada tujuan utamanya ialah peserta didik yang berada di daerah.
Efisiensi pelaksanaan pendidikan di daerah telah dimulai oleh beberapa pemerintah kabupaten seperti di Kabupaten Jembrana, Bali. Pemerintah daerah mempunyai cukup dana untuk melaksanakan pendidikan gratis. Gerakan efisiensi pendidikan seperti yang terjadi di Kabupaten Jembrana tentunya merupakan suatu langkah awal yang sangat efektif dalam pelaksanaan Wajib Belajar 9 tahun.
Sesudah efisiensi, dalam pelaksanaan pendidikan, langkah berikutnya ialah meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri. Hal ini merupakan modal pertama dan penting dalam memotivasi serta menggairahkan para guru untuk melaksanakan pendidikan yang berkualitas. Dalam meningkatkan kualitas pendidikan bukan hanya tersedia kurikulum yang tepat dan relevan untuk kebutuhan daerah – daerah tetapi juga berbagai sarana dan prasarana pendidikan yang menunjang terlaksananya proses pendidikan yang baik. Keberhasilan pendidikan daerah juga sangat tergantung kepada pertisipasi masyarakat yang mengontrol dan ikut mengarahkan jalannya proses pendidikan. Inilah sistem pendidikan nasional bertumpu pada akar rumput di mana menilai proses pendidikan yang sebenarnya.
Dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia terutama guru, perlu diadakan program – program pelatihan di daerah bahkan sampai di provinsi. Demikian pula pertukaran pengalaman, pertukaran sukses yang dicapai oleh suatu daerah dapat diseminasikan untuk daerah – daerah lain.
C. Pelaksanaan Wajib Belajar di Daerah
Pelaksanaan pendidikan dasar yang bebas untuk semua orang merupakan perwujudan dari deklarasi hak – hak asasi manusia PBB pada tahun 1948. Kewajiban negara dalam hal ini kewajiban pemerintah daerah untuk melaksanakan wajib belajar diperlukan hal – hal sebagai berikut:
1. Tersedianya sarana seperti gedung sekolah dan tempat pelaksanaan wajib belajar lainnya ( appealability ).
2. Keterjangkauan ( accessability-sarana pelaksanaan wajib belajar ).
3. Penerimaan ( acceptability ) yaitu diterima tidaknya bentuk kelembagaan pendidikan oleh rakyat.
4. Kesesuaian ( adaptability ) yaitu kesesuaian lembaga – lembaga pendidikan dengan kebutuhan lingkungannya.
Tugas pemerintah pusat adalah membantu hal – hal yang merupakan tanggung jawab pemerintah pusat seperti isi kurikulum yang menjamin kesatuan bangsa. Ada perbedaan antara pendidikan universal ( universal education ) dengan wajib belajar ( compulsory education ). Pendidikan universal berarti tersedianya sarana yang dapat menampung pendidikan untuk semua ( education for all ) dan telah ditekankan kepada keterjangkauan ( accessability ) seperti yang telah dilaksanakan melalui INPRES SD yang berarti setiap desa sekurang – kurangnya mempunyai 1 SD. Sedangkan wajib belajar merupakan suatu keharusan yang harus ditepati oleh setiap warga negara. Oleh sebab itu di banyak negara telah ada undang – undang wajib belajar.
Wajib belajar, menurut penulis perlu mendapatkan perhatian khusus mengenai keterjangkauan ( accessability ) pendidikan meskipun wajib belajar tersebut merupakan tanpa biaya.
Kaitan antara wajib belajar dan kemiskinan meminta susunan prioritas pembangunan di daerah akan berubah. Skala prioritas pembangunan daerah memang harus diarahkan kepada penuntasan kemiskinan dan pencerdasan kehidupan rakyat.
D. Kualitas Guru
UU No. 14 Tahun 2005 mengenai Guru dan Dosen. Salah satu upaya dari UU tersebut ialah meningkatkan profesionalisme guru serta meningkatkan kualitas hidup ekonomi para guru. UU No. 14 Tahun 2005 telah menggariskan upaya – upaya untuk meningkatkan profesi guru sehingga dapat direkrut putera – puteri terbaik bangsa untuk menempati profesi yang sangat dihormati yaitu untuk mencerdaskan bangsa.
Salah satu kualifikasi akademik guru profesional menurut UU No. 14 Tahun 2005 mempunyai sekurang – kurangnya ijazah S-1. Prinsip adaptibilitas seorang guru terhadap budaya dan kebutuhan daerah tentunya lebih memadai apabila pendidikan guru tersebut dilaksanakan di daerah.
E. Badan Standar Nasional Pendidikan ( BSNP ): Gurita kekuasaan
Keterpurukan pendidikan nasional kita ini semakin diperparah dengan lahirnya seekor gurita kekuasaan pendidikan ialah Badan Standarisasi Nasional Pendidikan.
Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan ialah perlunya standar nasional pendidikan. Menurut PP No. 19 Tahun 2005 terdapat delapan standar pendidikan nasional yang digarap oleh Badan Standar Nasional Pendidikan:
1. Standar isi, merupakan materi dari tingkat kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap peserta didik dalam berjenis tingkat dan jenis pendidikan.
2. Standar proses, meliputi pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.
3. Standar kompetensi pendidikan, merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang berkaitan dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
4. Standar pendidik dan tenaga kependidikan, merupakan standar nasional tentang kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental serta pendidikan dalam jabatan dari tenaga guru serta tenaga kependidikan lainnya.
5. Standar sarana dan prasarana, mengenai kriteria minimal tentang ruang belajar, perpustakaan, tempat olah raga, tempat ibadah, tempat bermain dan rekreasi, laboratorium, bengkel kerja, sumber belajar lainnya yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran.
6. Standar pengelolaan, meliputi perencanaan pendidikan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, pengelolaan pendidikan ditingkat kabupaten/kota, provinsi dan pada tingkat nasional. Tujuan dari standar ini ialah meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
7. Standar pembiayaan, merupakan standar nasional yang berkaitan dengan komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan selama satu tahun.
8. Standar penilaian pendidikan, merupakan standar nasional penilaian pendidikan tentang mekanisme, prosedur, instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
Selain dari tugas tersebut, terdapat tugas lainnya yang juga dilaksanakan oleh BSNP, yaitu:
1. Menyelenggrakan ujian nasional.
2. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat dan daerah dalam penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan.
3. Merumuskan kriteria kelulusan pada satuan pendidikan, dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah.
4. Menilai kelayakan isi, bahasa, penyajian dan kegrafikan buku teks pelajaran.
Adapun tujuan dari pengembangan standar nasional pendidikan serta tugas – tugas lainnya BSNP ialah untuk meningkatkan mutu pendidikan.
BSNP menurut PP No. 19 Tahun 2005 merupakan suatu lembaga independen. Tetapi pada kenyataannya BSNP merupakan anak kandung dari birokrasi pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional. BSNP telah merupakan gurita kekuasaan pendidikan. Bagaimana tugasnya untuk menyelenggarakan Ujian Nasional yang sama diselenggarakan untuk peserta didik yang ada di kota – kota besar dianggap sama dengan Ujian Nasional untuk sekolah di pedalaman – pedalaman desa tertinggal di seluruh Nusantara. Selain daripada penentuan tingkat pencapaian proses belajar peserta didik yang menurut undang – undang merupakan tugas dan tanggung jawab guru sekarang diambil alih oleh BSNP. Adanya standar nasional pendidikan merupakan suatu kebutuhan untuk meningkatkan mutu pendidikan saat ini namun demikian mekanisme pencapaian standar tersebut bukan berarti melecehkan hak asasi peserta didik. Sebab dengan demikian tujuan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan rakyat menjadi sirna karena yang dihasilkan adalah manusia – manusia pekerja yang sekedar untuk memenuhi standar – standar dunia kerja dan industri.