Jumat, 10 April 2009

10. Homeschooling dan Kesiapan Orang Tua

Homeschooling kini bukan lagi sebuah wacana. Sudah banyak orang yang mencobanya. Namun sejauh ini, persoalan tentang legalitas masih saja menjadi bahan pembicaraan dan bahkan polemik.

Pemerintah sendiri nampaknya memiliki paradigma sendiri tentang kehadiran homeschooling. Memperkaya model pendidikan, tentu iya, namun di sisi lain, ketika homeschooling sudah tersosialisasikan wacananya kepada masyarakat, tata kelengkapan teknisnya juga perlu disiapkan. Satu hal yang sangat penting untuk ditindaklanjuti, adalah kesiapan orang tua.

Homeschooling dalam persepsi saya, bukanlah perkara yang mudah. Kendati dalam gambaran kasar sepertinya begitu menyenangkan dan fleksibel, tapi karena kefleksibelan itu pula orang tua harus memiliki wawasan yang kaya dalam melayani kebutuhan belajar anak-anak. Orang tua membutuhkan panduan untuk membimbing anak-anak, meski tidak selalu harus menjadi guru dalam pengertian guru yang berdiri di depan kelas. Tidak semua orang tua siap dengan kondisi fleksibel dan serba harus menyiapkannya sendiri. Hal itu pula nampaknya yang memicu munculnya “sekolah-sekolah” homeschooling. Dengan menyadari bahwa tidak semua peminat homeschooling adalah orang-orang yang siap dari sisi mental dan juga skill, banyak lembaga-lembaga berlabelkan homeschooling berdiri di tengah-tengah kita.

Homeschooling bagi saya adalah pendidikan alternatif yang berbasis rumah. Namun faktanya, makna homeschooling kini menjadi bias. Menjamurnya “sekolah” berlabel homeschooling di beberapa tempat, khususnya Jakarta dan Bandung, membuat homeschooling memang hanya sebuah istilah yang tak bisa dicerna dari akar kata. Sama halnya ketika kita menamai sebuah tempat dengan sebutan cipanas tapi udara dan air di tempat itu ternyata dingin.

Setelah melewati berbagai pengkajian pribadi, saya bisa katakan bahwa homeschooling membutuhkan pertanggungjawaban. Jangan sampai wacana homeschooling hanya menjadi pemicu untuk merebaknya gerakan anti sekolah yang didasari oleh kemalasan. Karena bukan tidak mungkin, peminat homeschooling yang tidak siap secara mental dan skill, mereka tak hanya meninggalkan sekolah tapi juga meninggalkan belajar.

Homeschooling itu memang asyik, tapi tetap ada resikonya. Perhitungkan dengan matang untuk memilih homeschooling, sampai kita yakin betul bahwa pilihan itu memang paling tepat dan sesuai dengan kondisi dan kesiapan kita serta anak-anak.

Seorang peminat homeschooling yang benar-benar serius, menurut saya bahkan harus memperhitungkan untuk siap dengan kondisi paling buruk, misalnya tanpa ijazah. Itu memang pilihan radikal, tapi ketika tujuan pendidikan pribadi sudah ditetapkan, hal itu bukanlah persoalan besar.

Keberadaan ijazah pada mulanya, bisa jadi memiliki tujuan filosofis yang lebih tinggi dari sekedar tanda lulus. Ijazah adalah simbol dari keseriusan belajar anak sekolah dalam masa pendidikannya. Kalau kemudian terjadi degradasi nilai pada ijazah, itulah anomali dari sebuah konsep. Kita pun akan menemukan hal itu di bidang apapun di luar bidang pendidikan.

Meskipun banyak persoalan terjadi di dunia pendidikan, untuk menyelesaikannya tidaklah bisa dengan cara-cara impulsif, saling curiga, dan menghakimi. Kalau homeschooling itu bisa menjadi salah satu pilihan di antara banyak pilihan yang ada, cari tahu dan pahami lebih dulu dengan sedalam-dalamnya. Mengalirlah seperti air, temukan hal-hal baru, dan teruslah belajar. Karena hanya dengan belajar kita bisa menemukan kearifan dari setiap pengetahuan dan pendapat yang hidup di sekeliling kita.

Sumber: http://pustakanilna.com

9. Homeschooling, haruskah eksklusif?

Sejak subsidi pendidikan nyaris ditiadakan, efek yang langsung terasa oleh masyarakat, adalah mahalnya biaya sekolah. Terbukanya peluang untuk tumbuhnya pendidikan alternatif seperti homeschooling (HS) adalah kabar baik.

Dengan pertimbangan finansial, HS diharapkan bisa mengabaikan unsur-unsur tertentu yang membuat biaya pendidikan menjadi mahal. Biaya gedung, seragam, atau atribut-atribut fisik lainnya dapat ditiadakan. Pemerataan pendidikan pun diharapkan akan berjalan lebih baik.

Sayanganya kini model pendidikan alternatif ini juga mengalami distorsi substansi. Munculnya lembaga-lembaga non sekolah yang membuka layanan belajar berbasis HS dengan biaya yang sangat-sangat mahal membuat HS terkesan ekslusif dan tak mungkin dilakukan oleh mereka yang ekonominya pas-pasan.

Tak Perlu Mahal
Perpindahan tempat belajar dan bervariasinya metode yang digunakan dalam bersekolah di rumah tidaklah berarti akan menambah biaya pendidikan jika seorang homeschooler bisa mengelola fasilitas yang ada di sekelilingnya dengan cermat.
Perpustakaan, museum, toku buku dan barang-barang bekas, perabotan rumah, sawah, kebun, tanaman di halaman, hewan peliharaan, dan lain sebagainya adalah contoh-contoh media belajar yang dapat dimanfaatkan tanpa harus merogoh uang terlalu besar.

Satu dari sekian prinsip yang diusung HS diantaranya adalah menghubungkan pengetahuan dengan dunia nyata, dan hal itu seringkali sangat murah. Anak-anak bisa belajar matematika saat mengeluarkan biscuit dari bungkusnya, bisa belajar bahasa inggris saat membaca petunjuk memasak mie instan, atau belajar biologi saat bermain di halaman; dengan mengamati serangga dan tumbuhan yang hidup bebas.

Informasi yang memang dianggap masih kurang oleh para peminat HS adalah aspek-aspek praktis berupa gambaran kurikulum, selain juga cara mengurus legalitas, supaya anak-anak yang melakukan HS tetap bisa memperoleh ijazah resmi sesuai jenjang pendidikan yang ditempuhnya.

Namun demikian, kalau kita mau sedikit menjelajahi internet, semua informasi itu bisa diperoleh cuma-cuma. Mengakses www.puskur.net akan membantu kita untuk mengetahui standar kurikulum nasional, sehingga kita memiliki gambaran dalam merancang kurikulum bagi anak-anak.

Beberapa panduan belajar dan kurikulum pendukung lainnya juga sebenarnya bisa kita dapatkan murah dan bahkan gratis di internet. Dari sana kita bisa mengambil pengalaman para homeschooler yang sudah lebih dulu menerapkan HS, dan kita kombinasikan dengan sedikit sentuhan kreativitas keluarga masing-masing.
HS akan menjadi sangat mahal jika para homeschooler serba membeli segala perangkat belajar yang semestinya tidak perlu dibeli.

Hindari Dokotomi
Dikotomi yang tajam antara HS dan sekolah formal sangat tidak bermanfaat untuk dikembangkan. Melihat pendidikan dalam skala makro, HS pun bisa menjadi bumerang jika hanya didefinisikan sebagai bersekolah di rumah dan tidak pergi ke sekolah. Salah-salah memberikan penjelasan, apa yang diingat dari HS justru hanyalah “tidak pergi ke sekolah”, dan anak-anak malah tidak mau belajar sama sekali di manapun.

HS mungkin masih tampak asing dan eksklusif bagi mereka yang belum mengenalnya terlalu jauh. Padahal kalau kita mau membaca beragam referensi tentang HS, kita akan melihat bahwa sesungguhnya model ini sangat akrab dengan kehidupan kita dan bermanfaat bagi semua orang, termasuk bagi mereka yang akhirnya memilih sekolah formal.

Substansi HS adalah membuat belajar menjadi demikian menyenangkan, mandiri, dan sesuai minat. Tak peduli di mana pun tempatnya, baik di rumah, di pasar, di perpustakaan, ataupun di jalanan, anak-anak bisa belajar sesuatu tanpa harus dibatasi kisi-kisi materi yang mengikat.

Selain itu, prinsip dasar HS yang cukup penting adalah terlibatnya orang tua secara penuh dalam pendidikan anaknya. Sekalipun anak-anak akhirnya masuk sekolah formal, peran orang tua dalam mengelola pendidikan anaknya tidak boleh berhenti.

Meskipun HS murni (bersekolah di rumah) nampak ideal bagi sebagian orang, namun bagi orang tua lain, dengan latar belakang dan pekerjaan yang berbeda HS murni bisa jadi tidak memungkinkan. Pada kondisi inilah sekolah formal atau sekolah alternatif berupa kelas masih tetap dibutuhkan untuk mendidik anak-anak, setidaknya pada sisi koginitif. Sementara itu, menghidupkan etos belajar adalah pe er tersendiri bagi dunia sekolah.

Referensi
Beberapa buku yang membahas tema-tema seputar HS, pembelajaran mandiri, dan sekolah kreatif sudah terbit dalam bahasa Indonesia, seperti Tamasya Belajar (MLC:2005), Revolusi Belajar untuk Anak (Kaifa:2002), Sekolah Para Juara (Kaifa:2004), Belajar Tanpa Sekolah (Nuansa:2006), Totto-Chan (Gramedia:2006), Revolusi Cara Belajar (Kaifa:2001), Homeschooling Keluarga Kak Seto (Kaifa:2007), Ibuku Guruku: Belajar di Rumah dalam Balutan Kearifan dan Kehangatan (MLC:2005), Montessori untuk Sekolah Dasar (Pustaka Delapratasa:2002), Accelerated Learning (Nuansa:2002), dan lain-lain.

Membaca buku-buku tersebut, setidaknya akan membantu setiap orang untuk mengenal temuan-temuan terbaru tentang pembelajaran dan mampu melihat HS tak hanya sekedar bersekolah di rumah.
Lebih jauh menelaah HS, akan membuat kita memahami bahwa HS adalah bagian dari tanggung jawab pendidikan yang diemban orang tua. Sekalipun anak-anak kita bersekolah di sekolah formal, tidaklah hilang tanggung jawab orang tua untuk mendidik anak-anak, sehingga mereka menyukai belajar dan menjadi tumbuh positif dengan belajar.

Sumber: http://pustakanilna.com/homeschooling-haruskah-eksklusif

8. Homeschooling Solusi, atau Kerugian

Akhir-akhir ini metode pendidikan Homeschooling sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat, dipelopori oleh Kak Seto melalui Asah Pena yaitu sebuah lembaga yang didirikan untuk membantu proses belajar mengajar di dalam Homeschooling, apalagi juga didukung melalui pemberitaan yang luas dari media masa, maka semakin tinggilah apresiasi masyarakat -gembor terhadap metode pembelajaran ini, apalagi dengan gembar-gembor dari media massa yang menyatakan bahwa Homeschooling merupakan alernatif pendidikan yang sangat tepat untuk saat ini mengalahkan dominasi sekolah yang sudah sejak dahulu berada dalam garis terdepan dalam melakukan pembelajaran kepada siswa maka masyarakat perlu dijelaskan apakah memang Homeschooling seindah yang mereka bayangkan?

Homeschooling dan Legalitas

Sebelum berbicara mengenai legalitas dari Homeschoolng, harus diketahui dulu apakah sebenarnya Homeschooling itu. Home Schooling atau biasa disingkat HS merupakan pendidikan berbasis rumah, yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing (Daryono, 2008). Sistem ini sendiri terlebih dahulu berkembang di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya di dunia. Baru kemudian mulai menjadi tren di Indonesia tahun-tahun belakangan ini. Sebenarnya jika kita flashback ke belakang sistem pembelajaran HS telah ada bahkan sejak sebelum jaman penjajahan dulu, beberapa tokoh penting kita seperti Ki Hajar Dewantara, Buya Hamka dan KH Agus Salim telah lebih dulu mengenyam sistem pengajaran HS ini.

Pendidikan alternatif dengan model sekolah rumah (home schooling) tidak hanya menumbuhkan keinginan belajar secara fleksibel pada anak, namun juga mampu menumbuhkan karakter moral pada anak. Pasalnya, dengan menyerahkan proses belajar sebagai hak anak untuk mendapatkan pendidikan, akan mendorong anak untuk belajar berdisiplin dan bertanggung jawab, terhadap segala kegiatan belajar yang telah dilakukannya (Mulyadi, 2008).

Berbicara mengenai payung hukum, Homeschooling sebenarnya sudah mempunyai payung hukum. Menurut, Harun Al Rosyid Kepala Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Non Formal (BPPLSP) mengatakan sekolah rumah atau home schooling ini telah memiliki payung hukum UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Anak peserta home schooling dapat mengikuti ujian nasional berbarengan dengan siswa sekolah formal melalui sekolah mitra yang ditunjuk Dinas Pendidikan.. selain itu, di Indonesia, pendidikan dalam keluarga merupakan kegiatan pendidikan jalur informal, kutipan UU no 20/2003 Sisdiknas). Pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Negara tidak mengatur pada proses pembelajarannya, tetapi hasil pendidikan dari informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Kemudian (kutipan pasal 90 SNP), peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh sertifikat kompetensi yang setara dengan sertifikat kompetensi dari pendidikan formal setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikat mandiri / profesi sesuai ketentuan berlaku dan peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh ijasah yang setara dengan Ijasah dari pendidikan dasar dan menengah jalur formal setelah lulus uji kompetensi dan ujian nasional yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang teraktreditasi sesuai ketentuan yang berlaku. Dari penjelasan ini maka dapat diketahui bahwa sebenarnya Homeschooling memiliki payung hukum yang jelas dalam melaksanakan metode pembelajaran yang mereka lakukan sehingga masyarakat tidak perlu merasa terlalu takut untuk menyekolahkan anaknya di dalam Homeschooling

Keuntungan dan Kerugian

Metode pembelajaran tematik dan konseptual serta aplikatif menjadi beberapa poin keunggulan HS. Home schooling memberi banyak keleluasaan bagi anak untuk menikmati proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban-beban yang terkondisi oleh target kurikulum. Setiap siswa HS diberi kesempatan untuk terjun langsung mempelajari materi yang disediakan, jadi tidak melulu membahas teori. Mereka juga diajak mengevaluasi secara langsung tentang materi yang sedang di bahas. Bahkan bagi siswa yang memiliki ketertarikan di bidang tertentu, misalnya Fisika atau Ilmu alam, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan observasi dan penelitian sesuai ketertarikan mereka.

Beberapa keunggulan lain home schooling sebagai pendidikan alternatif, yaitu karena sistem ini menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik, menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel. Juga memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja (bullying), narkoba dan pelecehan. Selain itu sistem ini juga memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga, dan sejenisnya, memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual, tematik, dan nonscholastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu.

Ada keunggulan, pasti ada juga kekurangannya, begitu juga dengan home schooling, beberapa kekurangan harus siap dihadapi oleh orang tua yang memilih home schooling sebagai alternatif pendidikan, diantaranya tidak ada kompetisi atau bersaing. Sehingga anak tidak bisa membandingkan sampai dimana kemampuannya dibanding anak-anak lain seusia dia.. Selain itu anak belum tentu merasa cocok jika diajar oleh orang tua sendiri, apalagi jika memang mereka tidak punya pengalaman mengajar sebelumnya

Kekurangan lain yang tidak bisa kita pungkiri adalah kurangnya interaksi dengan teman sebaya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan pengalaman berharga untuk belajar hidup di masyarakat. Kemungkinan lainnya anak bisa terisolasi dari lingkungan sosial yang kurang menyenangkan sehingga akan kurang siap nantinya menghadapi berbagai kesalahan atau ketidakpastian. Faktor tingginya biaya home schooling juga menjadi salah satu kekurangan, karena dipastikan biaya yang dikeluarkan untuk memberikan pendidikan home schooling lebih besar dibanding jika kita mengikuti pendidikan formil disekolah umum.

Sudah Adaptifhkah dengan Indonesia

Untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana pendidikan home schooling ini bisa lebih progresif berkembang di Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir masyarakat yang mulai cenderung kritis dan selektif dan tentu saja evaluatif terhadap hasil yang sudah dicapai oleh pendidikan formal yang dikemas dan didesain oleh pemerintah. Secara empiris barangkali salah satu faktor yang mempengaruhi mengapa terjadi pergeseran dinamika pemikiran masyarakat terhadap pola pendidikan di Indonesia adalah salah satunya dikarenakan para orang tua murid sudah begitu menyadari bahwa sudah lama pendidikan kita di â?ohantui â?ooleh tingginya kekerasan sosiologis yang selama ini terjadi dalam interaksi dunia pendidikan kita. Kasus tawuran, seks bebas dan narkoba dikalangan pelajar dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit adalah salah satu faktor yang menyebabkan para orang tua terbangun landasan berfikirnya untuk melakukan terobosan mencari pendidikan alternatif yang relatif â?oamanâ?� buat anak-anaknya dan rezim diktatorianisme pendidik terhadap peserta didik yang selama ini menjadi budaya dalam pola pendidikan kita juga telah membuka mata sebagian masyarakat terutama para orang tua murid untuk lebih mempertimbangkan putra-putrinya untuk sekolah di pendidikan formal.

Realitas lain yang perlu dicermati mengapa pendidikan home schooling ini menjadi pilihan alternatif masyarakat adalah ketika masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola pendidikan formal di Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era globalisasi yang harus di respon secara kualitatif oleh peserta didik dengan menyiapkan kompetensi yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skill mereka ketika mereka beraktivitas (bekerja atau berwirausaha). Dan salah satu aspek yang diangkat oleh program pendidikan home schooling ini adalah standard kompetensi internasional tersebut. Maka terjawab sudah bagaimana seharusnya stakeholders (pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam dunia pendikan) termasuk dalam konteks ini juga pihak perusahaan dan instansi yang menampung dan mengakomodir kebutuhan tenaga kerja para lulusan untuk concern menyikapi maraknya pendidikan alternatif semisal home schooling ini dalam perspektif yang lebih otonom dan komprehensif, termasuk didalamnya memberikan solusi tentang otoritas standard kelulusan dan formalisasi pendidikan yang di atur secara baku dan menjadi domain pemerintah.Â

Tinggal persoalannya adalah sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih pendidikan home schooling ini, tidak semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program pendidikan ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat kita sudah memahami bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era globalisasi ini yang menuntut segi otentitas dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi. Kredibilitas program pendidikan home schooling ini bukan hanya diukur dari tingkat fleksibilitas dan kesan informalistik dengan nuansa yang lebih persuasif dan menyenangkan saja, dimensi belajar mengajar yang tidak terbelenggu oleh ruang dan waktu dengan model on the job method maupun off the job method, garansi dan konsepsi link & mach dengan dunia usaha dan industri dan sebagainya. Namun tingkat kredibilitas program pendidikan home schooling ini juga di dasarkan atas legitimasi yang diberikan pemerintah.

Apakah pemerintah mau lebih bersikap inklusif atau eksklusif dalam menyoal eksistensi program pendidikan home schooling ini yang nota bene bisa saja mengklaim dirinya setingkat dengan strata pendidikan yang sudah baku di Indonesia. Terlepas memang setiap program pendidikan yang diterapkan di Indonesia apapun itu bentuknya tidak menjamin semua aspek kognitif dan sosial peserta didik terakomodir dengan baik. Seperti halnya program pendidikan home schooling ini yang nota bene jelas tidak menspesifikasikan diri pada aspek sosialisme interaksi dan proses transformasi budaya dan sifat komunitas, namun cenderung individualistic, jadi mau Homeschooling atau tidak itu terserah anda.

Sumber: http://re-searchengines.com/huzaifah10808.html

10. Penyelenggaraan Kelas Layanan Khusus (KLK)

Dinas Pendidikan Kota Semarang merupakan salah satu dari 35 kota/kabupaten penyelenggara Kelas Layanan Khusus (KLK) di Indonesia. Program Kelas Layanan Khusus adalah program layanan pendidikan bagi anak usia SD yang putus sekolah atau sama sekali belum bersekolah pada usia 7 - 14 tahun. Tujuannya agar anak-anak usia tersebut yang putus sekolah atau belum pernah bersekolah dapat memperoleh layanan pendidikan di SD sampai tamat.

Penyelenggaraan Kelas Layanan Khusus di suatu sekolah bersifat tidak permanen. Tugas sekolah sebagai Penyelenggaraan Kelas Layanan Khusus akan berakhir ketika di sekitar sekolah sudah tidak ada lagi anak-anak usia SD yang putus sekolah atau belum bersekolah. Oleh karena itu setiap tahun pelajaran baru diadakan verifikasi terhadap kelayakan SD penyelenggara KLK. SD. Badarharjo 02 Kecamatan Semarang Utara pada tahun pelajaran 2008/2009 masih termasuk salah satu SD yang berhak menyelenggarakan KLK sesuai dengan verifikasi Dir. Pembinaan TK/SD.

sumber: http://www.disdik-kotasmg.org/v8/index.php?

9. Pendidikan untuk AnakPemulung

Lokasi pembuangan akhir sampah (LPA) Bantar Gebang merupakan pusat penampungan seluruh sampah dari wilayah bekasi dan DKI jakarta, lokasi beroperasi sejak tahun 1989 dengan luas areal 23 ribu m3/hari dari berbagai jenis sampah yang berasal dari pasar umum, swalayan, restoran, hotel dan rumah tangga.

Pemulung anak merupakan komunitas yang selayaknya memperoleh hak-hak dasarnya dengan baik. Mereka dapat bermain dan belajar sebagaimana layaknya anak-anak yang lain bisa menikmati masa kanak-kanak dan terlindung dari bahaya kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi.

Dari tahun ke tahun jumlah pemulung senantiasa berubah dan bertamabah, demikian juga dengan pemulung anak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh situasi krisis ekonomi yang sampai saat ini belum terselesaikan dimana terjadi penyempitan lapangan pekerjaan, pendidikan semakin tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Dan meningkatnya harga kebutuhan pokok sehingga mendorong pelibatan seluruh anggota keluarga untuk ikut bekerja

Lokasi pembuangan akhir sampah (LPA) Bantar Gebang merupakan pusat penampungan seluruh sampah dari wilayah bekasi dan DKI jakarta, lokasi beroperasi sejak tahun 1989 dengan luas areal 23 ribu m3/hari dari berbagai jenis sampah yang berasal dari pasar umum, swalayan, restoran, hotel dan rumah tangga.

Kehadiran LPA Bantar gebang telah memunculkan komunitas baru dimana mereka merupakan kelompok migran dari jawa barat, jawa tengah, dan madura yang bekerja sebagai pengais sampah. Lokasi ini merupakan ladang pekerjaan dan tempat bergantung dalam memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bahkan komunitas tersebut sudah menganggap bahwa LPA Bantar Gebang sebagai tambang emas terbuka.

Dimana mereka memperoleh pekerjaan dengan mudah dan memberikan pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun pekerjaan resiko kecelakaan dan ancaman bahaya dari buruknya lingkungan kerja begitu pula lingkungan tempat tinggal yang tidak kondusif untuk perkembangan fisik, kesehatan moral dan moral bagi anak.

Hambatan yang dirasakan oleh anak dalam mendapatkan hak-haknya dikarenakan (1) Kondisi keluarga yang migran dan miskin menyebabkan anak-anak hidup tanpa identitas kewarganegaraan, (2) tempat tinggal yang tidak memadai dan lingkungan tak bersanitasi berdampak pada buruknya status kesehatan pemulung anak, (3) komunitas illegal berdampak pada kesulitan memperoleh akses pelayanan publik, seperti PENDIDIKAN dan kesehatan. Kondisi ini tentunya tidak bisa dibiarkan karena akan berdampak pada situasi yang lebih buruk bagi anak Indonesia.

Yayasan Dinamika Indonesia yang didirikan tahun 1989 bersama Portalinfaq melakukan kegiatan kerjasama yang difokuskan kepada bidang pendidikan dan Sosial. Kerjasama yang berlangsung ini merupakan kerjasama yang ketiga dalam program pendidikan khususnya bagi anak-anak pemulung yang bersekolah di dalam LPA Bantar Gebang.

Sampai saat ini jumlah murid yang telah bersekolah di Sekolah formal di bawah bimbingan Yayasan Dinamika Indonesia sebanyak 210 siswa baik ditingat SD maupun SLTP, sedangkan ruangan sekolah yang dimiliki hanya mempunyai 4 kelas dan ini untuk bagi siswa-siswi kelas 1 sampai dengan kelas 5, sedangkan untuk mereka yang akan ke kelas 6 direkomendasikan oleh pihak sekolah untuk melanjutkan ke sekolah-sekolah negeri dan swasta yang telah bekerjasama dengan Yayasan dinamika Indonesia.

Begitu pula bagi mereka yang telah tamat SD juga diusahakan untuk tetap melanjutkan kejenjang SLTP disekitarnya agar kesinambungan pendidikan yang mereka dapati akan menjadi bekal untuk kehidupan yang lebih baik. Dukungan bagi Anak untuk belajar ini dimaksudkan agar anak-anak pemulung dapat menggunakan hak-hak dasarnya dan mengurangi jam kerja anak dalam membantu orang tua mereka sebagai pemulung.

Sasaran lain yang hendak dicapai dari proses pembelajaran ini secara tidak langsung adalah kelompok-kelompok dalam komunitas dalam situasi khusus yaitu : (1) Keluarga pekerja anak, (2) Tokoh komunitas pemulung, (3) Pemerintah daerah dimana komunitas pemulung berasal dan pihak-pihak yang mengelola LPA BantarGebang.

Kesadaran akan perhatian kepada pekerja anak dan pendidikan anak membutuhkan waktu dan pemahaman tentang kewajiban anakpun belum sepenuhnya diketahui oleh para komunitas pemulung bahkan secara legalitaspun Undang-Undang tentang Pekerja Anak belum dilaksanakan secara baik dan konsisten. Untuk itulah peran LSM dan masyarakat dalam membangun kesadaran pendidikan bagi pekerja anak sangat dibutuhkan dalam bentuk kepedulian sosial membantu mereka untuk tetap bersekolah.

Sumber: http://pendidikanlayanankhusus.wordpress.com

8. Sekolah Anak-anak Bukit di Meratus

Desa Hampang Kecamatan Halong Kabupaten Balangan, salah satu desa terpencil yang mayoritas dihuni warga suku Dayak Meratus ini, cukup sulit dijangkau. Jalan sepanjang 15 kilometer dari Desa Tabuan masih berupa jalan tanah yang becek dan rawan jadi kubangan saat hujan. untuk mencapai lokasi, sebuah mbil yang double gardan pun harus dibantu dengan mobil jeep khusus off road agar tidak terjebak lumpur terlalu lama. Lokasi yang terpencil itu dapat dicapai setelah Perjalanan yang sulit terhentak-hentak di dalam mobil selama sekitar satu jam di jalan tanah yang becek dan terjal.

Kepala SD kecil Hampang, Sumardi mengatakan ada 45 murid usia 9-17 tahun bersekolah di SD itu. Kelas satu ada 20 murid dan kelas dua 25 murid. Hanya ada tiga orang guru, termasuk dirinya, yang mengajar secara bergantian. bangunan sekolah memanjang yang terdiri dua lokal untuk kelas satu dan kelas dua.

Murid di SD kecil memang tidak semuanya anak-anak. Rata-rata sudah berusia setara siswa SMP dan SMA. Bahkan untuk paket A atau pendidikan setara SD yang juga dibuka di sekolah ini, memiliki siswa berusia 29 tahun. Saat bersekolah, tidak semua siswa, terutama yang dewasa mau mengenakan seragam sekolah. Demikian halnya dengan alas kaki yang masih banyak mengenakan sandal jepit atau bertelanjang kaki. Sekolahnya mulai hari Isnin (Senin) sampai Jumahat (Jumat). Sabtu dan Minggu libur karena membantu orangtua menoreh di kabun (kebun)

Sumardi mengatakan, mendidik anak-anak bukit di daerah terpencil tidak gampang. Perlu penanganan khusus dan toleransi lebih daripada siswa di kota. Dia juga harus melakukan kompromi dengan orangtua agar membolehkan anaknya sekolah. Pihaknya mengizinkan anak belajar cuma sampai Jumat agar Sabtu dan Minggu bisa membantu orangtua di kebun. Dengan kebijakan itu, prosentase keaktifan ke sekolah meningkat.

Menurut Sumardi kebijakan itu karena kecenderungan siswa yang temperamental, kurang sopan santun dan disiplin. Apalagi orangtua yang rata-rata petani masih acuh dengan pendidikan anak dan malah sering mangajak membantu di kebun sehingga pendidikan terabaikan. Kendala lain, fasilitas sekolah sangat minim. Jangankan buku pelajaran, untuk buku tulis pun terkadang tidak ada.

Sumber: http://pendidikanlayanankhusus.wordpress.com

7. Sentra Pendidikan Layanan Khusus Ditambah

Pada tahun 2007, pemerintah berencana menambah dan mengembangkan sentra pendidikan layanan khusus, terutama di wilayah-wilayah bekas bencana, terpencil, dan perbatasan. Upaya ini merupakan bagian penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, khususnya dari jalur pendidikan luar biasa.

Hal tersebut disampaikan Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Dikdasmen Depdiknas, Eko Djatmiko, ditemui di sela-sela acara Spirit, ”Kreasi Gemilang Anak-anak Luar Biasa Indonesia", di Bandung, Kamis (16/11). Acara tahunan ini menghadirkan ratusan anak-anak berkebutuhan khusus dari 33 provinsi se-Indonesia.

Eko menjelaskan, sentra-sentra pengembangan yang dimaksud diantaranya wilayah Nunukan (Kalimantan Timur), Natuna (Kepulauan Riau), Sangihe Talaud (Sulawesi Utara), dan Rondo (NAD). Daerah-daerah yang menjadi pilot project ini dipilih berdasarkan permintaan dan analisis kebutuhan daerah.

”Program (pendidikan layanan khusus atau PLK) ini memang terbilang baru. Setahun terakhir bergulirnya. Sesuai dengan UU Sisdiknas, khususnya Pasal 31, PLK ini ditujukan bagi siswa-siswa yang berada di daerah pelosok, terpencil, komunitas adat terpencil (KAT), daerah konflik, maupun bekas bencana alam,” ungkapnya.

Berbeda dengan pendidikan luar sekolah (PLS), sasaran PLK ini adalah siswa-siswa usia wajar dikdas 9 tahun. Keunikan dari program ini, metoda pengajarannya tidak melulu bersifat akademis atau kognitif. Melainkan, dipadukan dengan pembekalan life skill yang tentunya disesuaikan potensi anak didik.

Tahun 2006 ini, PLK ini diujicobakan di sedikitnya 12 daerah yang ada di tanah air, diantaranya Lampung, Medan, Batam, Makassar, Sulawesi Tengah dan Mataram. Di antara sejumlah sentra, lokasi pengungsian di Atambua (Nusa Tenggara Timur) dan KAT Suku Anak Dalam (Jambi) menjadi salah satu indikator keberhasilan program.

Menurut Eko, program strategis ini diharapkan bisa efektif membantu pencapaian target wajar dikdas, khususnya di daerah yang sulit terjangkau pendidikan jalur reguler. ”Tahun 2006 ini, saya berutang 54.000 anak difabel usia sekolah (wajar dikdas) yang tidak bersekolah. Padahal, jumlah ini baru sepertiga dari seluruh siswa pendidikan khusus,” ujarnya kemudian.

Anggaran ditingkatkan

Untuk mendukung rencana tersebut, Depdiknas mengimbanginya dengan pengajuan penambahan alokasi anggaran dalam APBN 2007 mendatang. Kenaikannya, mencapai 35 persen dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi Rp 365 miliar. Dari total Rp 365 miliar anggaran PSLB, 30 persen diantaranya ditujukan untuk PLK.

Agus Prasetyo, penanggung jawab sebuah PLK yang beroperasi di daerah bencana khususnya NAD, menyambut baik penambahan alokasi anggaran tersebut. ”Ini tentunya sangat baik. Bisa mendukung operasional dan pengembangan kualitas tutor. Apalagi, selama ini kegiatan (PLK) ini sifatnya sukarela. Padahal, jangkauan daerah sangat luas,” ucapnya.(JON)

Sumber: kompas cyber media

6. NTT Selenggarakan Pendidikan Layanan Khusus

KUPANG, SPIRIT -- Pendidikan Layanan Khusus (PLK) resmi diselenggarakan di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Peresmian penyelenggaraan pendidikan ini ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan gedung PLK di Kelurahan Oebufu, Kota Kupang oleh Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa (PPLB), Departemen Pendidikan Nasional RI, Ekodjatmiko Sukarso, Jumat (7/3/2008) sore.Peletakan batu pertama ini disaksikan oleh Direktur Yaspurka Kupang, Y Aryanto Ludoni, B.Sc, Kepala Sub Dinas (Kasubdin) Pendidikan Layanan Khusus, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Propinsi NTT, Willy Paga, S.Fil, Kasubdin Sekolah Menenga Pertama (SMP)/Sekolah Menengah Atas (SMA), Yusuf Miha Ballo, rombongan dari Jakarta, para guru dan kepala sekolah mitra dan dan ratusan calon warga belajar dari beberapa sekolah kejuruan di Kota Kupang. Selain di Kota Kupang yang diselenggarakan oleh Yaspurka Kupang, PLK juga diselenggarakan di wilayah Tenukiik, Fatubanao, Manumutin di Kabupaten Belu.Seperti disaksikan Pos Kupang, Direktur PPLB, Ekodjatmiko Sukarso yang datang bersama rombongan dari Jakarta disambut dengan tarian penjemputan tebe-tebe dari Kabupaten Belu, diberi kalungan bunga serta pakaian adat lengkap dari TTS. Acara ini dimeriahkan dengan tarian dan vokal grup dari SMA Kristen Tarus dan SMK Mentari Kupang.Dalam sambutanya, Ekodjatmiko mengatakan, PPLB lahir karena adanya Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003. Yang dikenal selama ini, katanya, pendidikan formal yakni sekolah dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), pendidikan non formal, yakni PKBM-PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) seperti Paket A, B ,C, dan pendidikan informal. Pendidikan non formal, kata Ekodjatmiko, filosofinya untuk pendidikan orang dewasa, tetapi munculnya kebijakan politis pemerintah bahwa tahun 2008, Indonesia harus sudah menuntaskan buta aksara maka penyelenggarakan pendidikan ini juga diberikan kepada anak usia 15 sampai 45 tahun.Menurutnya, PLK menampung anak-anak yang mengalami trauma akibat bencana alam, perang, anak-anak cacat, anak-anak yang tidak beruntung dalam bidang ekonomi dan anak-anak dengan kecerdasan istimewa, anak-anak suku terasing, anak korban pengungsian. Dalam penyelenggaraanya ke depan, katanya, PLK harus bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat. Dikatakanya, PLK memiliki mobile school untuk melakukan pendekatan pelayanan pendidikan kepada anak-anak. Sedangkan metode penyelenggaraan pendidikan adalah lokal wisdom (kearifan lokal) dimana kurikulum tingkat satuan pelajaran (KTSP) sesuai dengan kearifan lokal, dengan 20 persen teori dan 80 persem praktek.Sementara itu, Kasubdin PLK Dinas P dan K Propinsi NTT, Willy Paga, S.Fil, mengatakan, PLB di NTT sudah ada sejak tahun 2000 yang ditetapkan melalui peraturan daerah (Perda) Tahun 2000, dan saat ini sudah berjalan delapan tahun, mulai dari tingkat TKLB sampai SMALB. Pendidikan ini merupakan sekolah yang menampung anak-anak dengan layanan khusus. Di NTT, katanya, ada 24 sekolah terpadu dan sembilan sekolah akselerasi yang selalu lulus UN 100 persen. Sedangkan untuk PLK, katanya, ada beberapa yayasan yang mengelolah, namun yang komitmen dengan PKL hanya Yaspurka Kupang.Sementara itu, Direktur Yaspurka Kupang, Y Arhyanto Ludoni, B.Sc, dalam sambutanya mengatakan, berterima kasih karena pemerintah melalui Dirjen PPLB sudah mau mencetuskan pendidikan layanan khusus untuk anak-anak termarjinalkan untuk mengenyam pendidikan. Sebagai orang yang juga komit dengan pendidikan, ia akan terus belajar untuk menyukseskan pengetasan buta aksara di NTT dan akan belajar terus megelolah PLK. Karena menurutnya, berbicara pendidikan tidak semudah membalikkan telapak tangan. *


sumber:http://spiritentete.blogspot.com/2008/03/ntt-selenggarakan-pendidikan-layanan.html

10. Advokat Semestinya Jalani Pendidikan Khusus

Medan, Kompas - Mantan Menteri Kehakiman Ismail Saleh mengingatkan, advokat adalah profesi yang mulia sehingga mereka yang menjalani profesi ini harus benar-benar orang yang terpilih. Keterpurukan advokat bukan karena faktor lain, tetapi justru karena perilaku sejumlah advokat yang kurang profesional. Karena itu, seseorang yang akan menjadi advokat harus menjalani pendidikan khusus dan tidak cukup hanya bergelar sarjana hukum (SH).
Berbicara dalam Rapat Kerja Nasional (rakernas) X Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) di Medan, Kamis (12/9) malam, Ismail membandingkan profesi advokat dengan notaris. "Seseorang untuk menjadi notaris harus menjalani pendidikan khusus, setara strata dua (S2). Semestinya advokat pun menjalani pendidikan yang sama," ujarnya.
Mantan Jaksa Agung itu mengharapkan, sejumlah fakultas hukum membuka program khusus advokat. Dengan begitu, kedudukan advokat-dari sisi keilmuan-setara dengan notaris yang jelas diakui spesialisasinya. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan dalam Undang-Undang (UU) Profesi Advokat nantinya ditegaskan calon advokat harus lulus lebih dahulu dari pendidikan spesialis tersebut.
Ismail menduga bahwa tidak tertutup kemungkinan seorang sarjana hukum sekadar mencoba-coba untuk menjadi advokat/pengacara. Sebab, selama ini syarat menjadi pengacara hanya harus bergelar SH dan menjalani ujian. "Coba-coba itu, kan, bukan ciri profesional. Tetapi, karena advokat tidak ada pendidikan spesialisasinya, ya ini bisa saja terjadi," katanya lagi.
Ismail juga mengingatkan, wajah advokat harus berbeda dengan jaksa atau hakim. Ukuran keberhasilan dan profesionalisme advokat pun bukan semata-mata materi atau uang. Advokat harus berupaya mewujudkan cita-cita kemandiriannya, yakni bebas dari semua bentuk intervensi. Advokat harus menjaga citranya sendiri.
Dalam rapat lanjutan Rakernas X AAI, kemarin, Ketua Dewan Kehormatan AAI Agus Takarbobir mengakui, rusaknya citra advokat memang bukan oleh pihak lain, melainkan oleh advokat sendiri. Tetapi, Dewan Kehormatan-sebagai hakim internal di kalangan advokat-tentu saja tidak bisa menjemput bola kalau ada advokat yang diduga melanggar kode etik. Dewan Kehormatan hanya bisa menunggu adanya pengaduan.
Selama tahun 2001 sampai Agustus 2002, lanjut Takarbobir, cuma satu perkara dugaan pelanggaran kode etik yang diterima Dewan Kehormatan Pusat AAI. Sebagian perkara, seperti lima kasus di DKI Jakarta dan tiga kasus di Makassar, diselesaikan Dewan Kehormatan cabang. (tra)


sumber : http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0209/14/NASIONAL/advo07.htm

9. Fakultas Hukum UBH Selenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat

oleh syamsir firdaus
Senin 21 Juli 2008 - 19:46:09

Fakultas Hukum - Sebagai lembaga pendidikan, Universitas Bung Hatta (UBH) memiliki cara tersendiri dalam mempromosikan kampus khususnya bagi kalangan praktisi. Salah satunya dengan adanya Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). Kegiatan yang berlangsung sejak Sabtu (19/ 7) kemarin merupakan kerja sama antara Fakultas Hukum Univ. Bung Hatta , Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Serikat Pengacara Indonesia (SPI) dengan PERADI. Pendidikan khusus yang diadakan di ruang sidang Fakultas Hukum UBH bertujuan mempersiapkan para calon advokat. Terutama agar mereka memahami, mengenal, dan menguasai materi yang berkaitan dengan praktik profesi advokat khususnya tentang etika profesi. Selain itu kegiatan ini juga diadakan untuk memenuhi salahsatu persyaratan yang ditetapkan oleh UU No 18 Tahun 2003 tentang syarat seseorang menjalankan profesi advokat. Pendidikan Khusus tersebut dibuka langsung Dekan Fakultas Hukum UBH, Boy Yendra Tamin, dimana pada kesempatan itu hadir Sekjen Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Hasanudin Nasution, Ketua PKPA, Hasranita SH MH, serta civitas akademika FH UBH.Boy dalam sambutannya menuntut advokat bekerja secara profesional. �Saya harapkan pelatihan ini bisa menjadi strategi untuk menempuh ujian keprofesian advokat,� ucapnya.Sementara Hasanudin menjelaskan tentang peran tenaga advokat dalam pembaharuan hukum. mereka ahrus bisa mengakomodir semua kepentingan masyarakat, serta bersikap global tanpa menghilangkan kepentingan lokal. Intinya, tenaga advokat yang bermoral dan mampu menegakkan aturan yang berlaku, �Kita akan melakukan evaluasi terhadap keberhasilan pelaksanaan program ini,� ujarnya.Hal senada juga dijelaskan Hasranita, menurutnya advokat harus bisa memberikan bantuan hukum kepada masyarakat. Karena advokat merupakan catur pilar dalam penegakkan hukum di negeri ini.Peserta kali ini merupakan angkatan kelima, dimana sebelumnya pada tahun 2005 juga pernah dilaksanakan selama dua kali dengan jumlah peserta 53 orang. Selanjutnya tahun 2007 juga dua kali diadakan jumlah peserta 30 orang. Kali ini berjumlah 49 orang. “Para peserta ada dari utusan Pemerintah daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mahasiswa yang sudah tamat dan dosen,� ujar Hasranita.Ia juga menjelaskan pendidikan akan berlangsung setiap hari Sabtu dan Minggu sampai tanggal 23 Agustus nanti. Dengan disiplin tinggi, Hasnita berharap peserta bisa langsung mengalipkasikan ilmunya setelah ikut PKPA. Minat masyarakat, mengikuti pelatihan ini cukup tinggi.Materi yang akan diberikan antara lain tentang hukum acara perdata, hukum acara peradilan agama dan sebagainya. Di samping itu juga ada materi pendukung yakni teknik wawancara dengan klien. Materi non-litigasi antara lain perancangan dan analisa kontrak, legal opinium dan legal audit, legal reasoning dan organisasi perusahaan. Dan sebuah materi menarik yang dihadirkan adadalah tentang tindak pidana korupsi dan hukum adat Minangkabau. Sebagai narasumber berasal dari kalangan dosen, pengurus SPI, pengacara, hakim, serta dari DPP PERADI.Setiap peserta akan mendapatkan sertifikat dari panitia. Tapi ada juga sertifikat tanda kelulusan dari PERADI bagi peserta yang memenuhi syarat.(Padek-Minggu 20 Juli 2008)/adm-fh1 .

Sumber : http://hukum.bung-hatta.info/news.php?extend.47

8. Baru 64.000 Anak Cacat Mendapat Pendidikan Khusus

Jakarta (ANTARA News) - Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto.

"Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu.

Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.

"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.

Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.

Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.

Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu.

Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan.

"Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.

Pada HUT ke-50 YAB tersebut diisi lomba gerak jalan yang diikuti 300 anak tuna grahita dan 200 pembina, lomba olahraga futsal, pentas seni serta pameran hasil kerajinan anak tuna grahita se-Jakarta.(*)

sumber : http://www.antara.co.id

7. Kerajinan Peraga Pendidikan Khusus Anak

by fisa Thursday, 04 September 2008
Masa kanak - kanak adalah masa yang paling menyenangkan. Anak yang tumbuh dengan kasih sayang dan pendidikan yang baik. Akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang mandiri dan sesuai harapan orangtua. Berbagai media pendidikan kini banyak dibuat khusus untuk anak -.anak. Dan ini rumahnya menjadi ladang bisnis tersendiri bagi Ibu Ida, salah satu pengusaha mainan anak dan alat peraga TK ini. Rupanya pendidikan anak dan alat peraganya menjadi sumber inspirasi bisnis. Kini usahanya makin berkembang, dan sedikitnya lebih dari 40 karyawan kini aktif menjadi salah satu aset perusahaan yang ia kelola.Berbagai jenis mainan anak TK. Yang bernuansa edukatif ada disini. Seperti puzzle, binatang, dan tumbuhan. Balok - balok mainan, replika, mobil, ayunan, buku pelajaran hingga, peralatan bermain musik dan olah raga. Bisa dibuat di pabrik yang luasnya sekitar lima ratus meter persegi ini. Keunggulan produk, mainan ini, adalah semua desain dan bahan nya menggunakan produk local. Hampir semuai pengerjaan berbagai model mainan anak dilakukan dengan cara hand made. Hasil dari tangan tangan terampil para pekerja sekitar. Mainan yang di buat cukup beragam, dan semuanya bernuansa edukatif. Proses pembuatan berbagai model mainan dan alat peraga pendidikan ini, cukup sederhana. Dimulai dengan proses pemolaan yang sudah jadi di dalam kertas seketsa. Sesuai peruntukannnya. Semua bahan di potong dan dihaluskan diruangan khusus. Untuk mainan dari kayu. Bahan kayu bisa digunakan kayu dari jenis albasia. kayu pinus maupun kayu olahan seperti kayu mdf. Bahan - bahan itu dipotong dengan gergaji mesin sederhana. Kemudian dirangkai dan dihaluskan satu persatu. Setelah barang sudah menjadi rangka setengah jadi. Maka tibalah ke proses finising atau, pewarnaan. Di tempat ini. Barang - barang yang sudah setengah jadi tersebut, diperhalus dan diberi warna. Pemakaian warna - warna mencolok yang berani. Sangat disukai anak – anak. Sehingga berbagai jenis puzzle atau balok mainan ini terlihat berwarna cerah dan menarik perhatian. Tiap minggunya, tak kurang dari lebih dari seratus pesanan barang, kerap dipenuhi, CV Hanimo ini untuk memenuhi beragam keperluan alat peraga sekola TK senusantara. Berbekal ketekunan dan kesabaran menjalani usaha. Kini usaha Ibu Ida. Telah bisa menghidupi sedikitnya lima puluh orang karyawan berikut keluarganya.

Sumber:http://www.indofamilybisnis.com/index.php?option=com_content&task=view&id=569&Itemid=70

6. Perhatian Khusus pada Pendidikan Khusus

Oleh : Nurma Cholida 04-Mei-2007, 16:18:18 WIB - [www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan menghabiskan waktu dan merayakan hardiknas bersama siswa-siswi sekolah luar biasa Siswa Budhi Surabaya. Berdasarkan refleksi diri dari pengalaman berharga itulah artikel singkat ini ditulis. Sejak diberlakukannya UU No.20/2003 tentang Sisdiknas, maka sejak saat itu istilah pendidikan luar biasa berganti nama menjadi pendidikan khusus, demi memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa itu sendiri. Namun sayang, meski istilahnya telah berubah, perhatian pemerintah maupun stigma keterbelakangan di masyarakat toh tidak juga berubah. Malah makin memarginalkan kaum yang sudah termarginalkan ini.Contoh nyata yang dilakukan masyarakat misalnya masih adanya tindak diskriminatif terhadap penyandang cacat. Bahkan saya masih menemukan orang tua yang menganggap kurang penting menyekolahkan anaknya ke sekolah khusus (SLB). Lantas, masih pantaskah kita menuntut mereka untuk mandiri dan berguna bagi masyarakat / lingkungannya jika kita sendiri enggan membukakan peluang bagi mereka untuk berkembang?Sedang contoh ketidak-adilan yang dilakukan pemerintah lebih kompleks lagi. Mulai dari ketidak tersediaan fasilitas hingga kurangnya perhatian akan kesejahteraan guru pendidikan khusus. Padahal dalam pendidikan khusus jelas dibutuhkan perhatian yang khusus pula. Diperlukan perhatian yang luar biasa pula untuk memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa. Menyedihkan sekali melihat di sekolah luar biasa yang sempat saya cicipi itu tidak ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang sebetulnya sangat diperlukan oleh masing-masing ketunaan. Misalnya, tidak tersedia ruang bina persepsi dan kedap suara bagi anak-anak tunarungu, tidak ada juga ruang latihan orientasi mobilitas dan mesin braille bagi anak-anak tunanetra, bahkan permainan khusus bagi anak-anak tuna grahita pun tidak ada, semua itu karena keterbatasan dana. Tanpa penyediaan fasilitas-fasilitas itu, sangat mustahil kiranya untuk meningkatkan aksesibilitas, partisipasi, dan kesempatan belajar anak-anak berkebutuhan khusus ini.Sudah saatnya kita semua serius dalam usaha peningkatan mutu pendidikan khusus. Supaya mereka dapat menjadi pribadi yang mandiri dan mampu bersaing dengan anak-anak normal lainnya. Hal ini bisa diwujudkan dengan banyak cara, diantaranya pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan tiap-tiap ketunaan, mengembangkan kurikulum berstandar nasional, termasuk meningkatkan kualitas para pengajar di pendidikan luar biasa.Pemerintah wajib memberi peluang yang sama bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini untuk memperoleh pendidikan terpadu dan sesuai dengan karakteristik ketunaannya.Jika kita mau mencoba melihat dunia dengan kacamata mereka, tentunya kita akan temukan dunia yang berbeda. Mereka mungkin berkelainan, mereka mungkin tidak beruntung, baik secara fisik, sosial, ekonomi, ataupun kultural. Tapi mereka juga anak-anak manusia, yang juga berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sama terbukanya seperti kita untuk mengenyam pendidikan yang layak.Those who seems unfortunate are those who have more hidden wisdom. Give them chance, they will give you more.Nurma Cholida, penulis di majalah Genta. Mahasiswa Komunikasi Massa, Fakultas Ilmu Komunikasi, UK Petra Surabaya.

Sumber : http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Perhatian+Khusus+pada+

10. Pemerintah Diminta Perhatikan Lembaga Pendidikan Keagamaan Swasta

Pemerintah Diminta Perhatikan Lembaga Pendidikan Keagamaan Swasta
Peraturan Pemerintah tentang pendidikan agama dan keagamaan, memang mendapat sambutan positif dari kalangan Ormas Islam. Namun dari kalangan lain mengharapkan agar pemerintah lebih memperhatikan lembaga pendidikan keagamaan yang dikelola swasta, yang juga telah berperan bagi pencerdasan bangsa.Seperti yang dikatakan ang-gota presidium Masyarakat Pen-didikan Sulut (MPS), Febry Dien ST dan HA Assa SPd, Sabtu (17/11), pemerintah sekiranya lebih memperhatikan Lembaga Pen-didikan Keagamaan (LPK) swasta. Di samping itu juga memperhatikan lembaga pen-didikan umat minoritas.Menurut keduanya, peme-rintah sekiranya dalam mem-perhatikan masalah pendidikan agama dan keagamaan tidak pilih kasih dan mengenyam-pingkan LPK swasta. Perlu diketahui Peraturan Peme-rintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Aga-ma dan Keagamaan yang belum lama ini ditetapkan Presiden Su-silo Bambang Yudhoyono.Terwujudnya PP Nomor 55 Ta-hun 2007 ini merupakan tuntu-tan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menyatakan bahwa pen-didikan agama dan keagamaan perlu diatur dengan peraturan pemerintah. Pemerintah harus mengimple-mentasikannya sehingga mem-beri pencerahan bagi lembaga pendidikan keagamaan khusus-nya yang dikelola swasta. Se-perti tercantum pada Pasal 12 PP, pemerintah atau pemerintah daerah memberi bantuan sum-ber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan. Juga pemerintah melindungi keman-dirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama tidak ber-tentangan dengan tujuan pen-didikan nasional. Pada penjelasan Pasal 12, menyebutkan pemberian ban-tuan sumber daya pendidikan meliputi pendidik, tenaga ke-pendidikan, dana, serta sa-rana dan prasarana pendi-dikan lainnya. Pemberian bantuan disalurkan secara adil kepada seluruh pendi-dikan keagamaan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendi-dikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyara-kat. Dan bantuan dana pen-didikan menggunakan satuan dan mata anggaran yang berlaku pada jenis pendi-dikan lain sesuai peraturan perundang-undangan.

Sumber : http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2007/nov_19/lkMim001.html

9. PENDIDIKAN KEAGAMAAN: Anggaran Depag Masih Jauh dari Ideal

SUKADANA (Ant/Lampost): Bupati Lampung Timur H. Satono pada Hari Amal Bakti (HAB) ke-63 Departemen Agama (Depag) di Sukadana, Lampung Timur, Rabu (7-1), mengatakan anggaran pendidikan di departemen tersebut jauh dari ideal."Kendati pemerintah terus menerus meningkatkan anggaran pendidikan Depag di luar pendidik dan tenaga pendidikan, tetapi dinilai masih kurang," kata dia.Ia menyebutkan berdasarkan data dari Departemen Agama, dari tahun ke tahun pemerintah telah berupaya untuk terus meningkatkan anggaran pendidikan di Depag.Sebagai gambarannya, anggaran pendidikan Depag di luar pendidik dan tenaga pendidikan tahun 2005 sebesar Rp3,284 triliun, dan pada 2009 direncanakan jumlahnya mencapai Rp14,888 triliun.Menurut dia, peningkatan jumlah anggaran tersebut masih jauh dari jumlah ideal yang diharapkan."Dengan anggaran yang terbatas itu, kita harus mampu menyusun prioritas program dan kegiatan yang secara signifikan memberi sumbangan bagi peningkatan mutu pendidikan agama dan keagamaan," ujarnya.Satono mengharapkan anggaran pendidikan itu harus dimanfaatkan sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) pemerintah dan rencana strategis Depag.Di tengah-tengah keterbatasan anggaran yang mendera lembaga-lembaga pendidikan agama dan keagamaan, ia menegaskan bahwa kita tidak boleh patah arang atau putus semangat dan bersikap apatis, tetapi kita harus tetap yakin dan bekerja keras untuk mendayagunakan segala potensi yang ada.Anggaran yang terbatas justru harus menjadi tantangan agar kita lebih cerdas dan inovatif menentukan pilihan program dan kegiatan yang tepat sasaran," kata Satono pula.Terkait peringatan HAB tersebut, Kantor Depag Lamtim sebelumnya telah menyelenggarakan berbagai macam perlombaan yang bertujuan untuk memupuk silaturahmi dan mempererat tali persaudaraan.Adapun lomba yang diselenggarakan adalah tenis meja, bola voli, catur, tarik tambang, dan bulu tangkis yang diikuti para pegawai dinas terkait.Pada kesempatan itu, panitia juga mengadakan lomba nasi tumpeng dan makanan nonberas seperti nasi oyek, tiwul, dan nasi jagung yang diikuti oleh para guru MAN, MIN, dan MTs.Hadir pada acara tersebut para guru agama se-Lamtim, juga tampak hadir pada saat itu petugas pencatat nikah (PPN), Dharma Wanita, dan para pejabat Kandepag Lamtim.n S-1

Sumber : http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009010723212631

8. Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius

YOGYAKARTA--Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan. ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram. (osa ) (sumber: republika)

sumber : http://www.maarif-nu.or.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=14

7. Pendidikan Keagamaan; Politik Pendidikan Penebus Dosa

Nasib pendidikan keagamaan sudah lama menyimpan memori panjang diskriminasi anggaran. Negara lebih memanjakan pembiayaan sekolah umum dan mengabaikan sekolah agama. Belanja negara dialokasikan secara tidak berimbang antara lembaga pendidikan negeri dan swasta. Sialnya, sebagian besar lembaga pendidikan keagamaan berstatus swasta.
Lengkap sudah nestapa pendidikan berbasis agama yang berlangsung sejak dahulu kala. “Sekarang negara harus menebus dosa dengan menunjukkan pemihakan pada pemberdayaan pendidikan keagamaan,” kata Menteri Agama, Maftuh Basyuni. Sebab para pendidik dan anak didik di lingkungan pendidikan keagamaan juga warga negara yang sama dengan anak didik dan pendidik pada umumnya. “Mereka sama-sama mendedikasikan diri untuk pendidikan anak bangsa,” Maftuh menambahkan.
Awal tahun anggaran ini menjadi momentum penting untuk menguji apakah politik anggaran negara sudah menunjukkan aksi nyata “penebusan dosa”. Perangkat regulasi sebenarnya sudah kian lengkap. Pada penghujung 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Beleid itu mengukuhkan kebijakan pendidikan dalam Undang-Undang 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahwa pendidikan keagamaan adalah bagian integral sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini menjadi tonggak penting politik pendidikan yang menghapus diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta serta antara sekolah umum dan sekolah keagamaan. Alokasi anggaran pun, menurut Pasal 12 PP 55/2007, harus adil antara sekolah negeri dan swasta.
Pendidikan keagamaan merupakan wujud orisinal pendidikan berbasis masyarakat di Nusantara. Mereka tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat. Di lingkungan Islam terdapat pesantren, madrasah, dan diniyah. Di Katolik ada seminari.
Di Hindu ada pasraman dan pesantian. Buddha mengenal pabbajja. Konghucu menyebut shuyuan, dan sebagainya. Tumbuhnya pendidikan keagamaan dalam masyarakat sebagian justru akibat kebijakan negara yang buruk dalam mengelola pendidikan agama.
Pendidikan agama kerap berjasa menampung anak didik yang kurang mampu, sehingga tidak terwadahi di sekolah umum dan negeri. Banyak di antara lulusannya yang kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah nasional. Jumlah mereka tidak bisa dipandang sebelah mata.
Di lingkungan pendidikan Islam saja, menurut data Departemen Agama (Depag) tahun 2006, ada 2,67 juta anak didik yang menempuh pendidikan di 14.700 pondok pesantren. Hampir sama dengan jumlah mahasiwa di 2.800 perguruan tinggi negeri dan swasta di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sebanyak 2,69 juta orang.
Yang bersekolah di 27.000 sekolah diniyah ada 3,4 juta orang. Setara dengan siswa pada 9.000-an SMA negeri dan swasta se-Indonesia, yang juga berjumlah 3,4 juta.
Peserta pendidikan dasar sembilan tahun di lingkungan madrasah dan diniyah mencapai 6,1 juta murid. Seperenam dari total peserta pendidikan dasar sembilan tahun ada di lingkungan Depdiknas, yang mencapai 36 juta murid.
Sebagian terbesar (lebih 80%) jenjang pendidikan agama di lingkungan Islam, mulai level taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi, adalah swasta. Bahkan, menurut data Depag tahun 2005, sekitar 17.000 raudhatul athfal (TK), 14.700-an pesantren, dan 27.600-an diniyah adalah swasta.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), 90% SD hingga SMA adalah sekolah Katolik dan berstatus swasta. Dari seluruh pendidikan Katolik itu, 60% sehat, 30% sedang, dan 20% hampir sekarat. Sekolah Katolik yang sehat ada di Flores, sedangkan yang sulit berkembang terdapat di Sumba.
“Pada masa Orde Baru, di sini pun sekolah Katolik swasta jadi anak tiri,” kata Ludo Taolin, Wakil Ketua DPRD Belu, NTT. “Padahal, sekolah Katolik banyak berperan mendidik kalangan menengah ke bawah,” katanya. Baru setelah reformasi, menurut Ludo, insentif guru untuk sekolah negeri dan swasta sama. Pemerintah daerah mulai membantu dengan menempatkan guru negeri di sekolah Katolik swasta.
Wajah politik anggaran pemerintah pusat dalam bidang pendidikan berbasis agama dapat dilihat dari anggaran Depag. Tahun 2008 ini, ada peningkatan persentase alokasi untuk “fungsi pendidikan” ketimbang tahun 2007.
Pada 2007, dari total anggaran Depag Rp 14,5 trilyun, alokasi terbesarnya (49,5%) adalah untuk “fungsi pelayanan umum” (Rp 7,2 trilyun). Porsi anggaran pendidikan di Depag pada waktu itu hanya menduduki pos kedua, senilai Rp 6,6 trilyun (46%).


Tahun 2008 ini, di satu sisi, anggaran Depag meningkat 20,9%, menjadi Rp 17,6 trilyun. Di sisi lain, alokasi terbesar bergeser dari fungsi pelayanan umum ke fungsi pendidikan. Gelontoran dana pendidikan meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun lalu, menjadi Rp 14,3 trilyun (81,4%) –macam-macam alokasinya lebih rinci, lihat tabel.
Tidak hanya di tingkat pusat. Wajah lebih ramah pada pendidikan agama juga ditampilkan sejumlah pemerintah daerah. Namun kebijakan anggaran APBD provinsi dan kabupaten/kota sempat tersandung Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Moh. Ma’ruf, Nomor 903/2429/SJ tanggal 21 September 2005 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2005.
Surat itu oleh sebagian kepala daerah diartikan sebagai larangan alokasi APBD untuk pendidikan keagamaan, karena bidang agama tidak mengalami desentralisasi. Sehingga anggarannya diambilkan dari belanja pemerintah pusat di APBN, bukan dari APBD.

sumber : http://apit.wordpress.com/2008/02/01/pendidikan-keagamaan-politik-pendidikan-penebus-dosa/

6. Uji Publik RPMA Pendidikan Keagamaan Islam

Jakarta (www.pondokpesantren.net) – Sebanyak 45 orang peserta dari berbagai kalangan baik praktisi pendidikan dan pimpinan pondok pesantren bertemu di Hotel Ibis Tamarin Jakarta selama 2 hari (26-27 Februari 2008) untuk melakukan uji publik terkait dengan RPMA Pendidikan Keagamaan Islam.
Para peserta itu terdiri atas para pejabat BSNP, Dekan Fakultas Syari’ah dan Tarbiyah dari UIN/IAIN, pimpinan pondok pesantren, Kepala Bidang Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantran, Kepala Seksi Kanwil serta para Kasubdit Direktorat Pendikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI.Acara yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI bekerjasama dengan Badan Standar Nasionanal Pendidikan (BSNP) ini bertemakan; “Menegakkan Eksistensi Pendidikan Keagamaan dalam Sistem Pendidikan Nasional”.Dalam pidato sambutan selaku penanggungjawab acara sekaligus sebagai Kasubdit Pendidikan Diniyah, H. Mahmud, M. Pd mengatakan bahwa sebenarnya yang diupayakan menjadi peraturan menteri agama ini ada 4 hal yaitu; Pertama, RPMA tentang syarat pendirian pendidikan keagamaan Islam yang meliputi diniyah athfal, ula wustho, ulya dan ma’had Aly, ini yang formalnya. Sedangkan yang non-formalnya; majlis ta’lim, taman pendidikan al Qur’an (TPA), diniyah takmiliyah (pengganti madrasah diniyah) dan pondok pesantren. Kedua, RPMA terkait dengan standar isi dari pendidikan keagamaan tingkat dasar`dan menengah. Ketiga, RPMA tentang standar kompetensi lulusan terkait di dalamannya pendidikan dasar dan menengah. Dan keempat RPMA tentang ujian nasional pendidikan keagamaan Islam. Namun, sambung H. Mahmud, yang diujipublikkan hanya tiga hal (kecuali RPMA tentang syarat pendirian pendidikan keagamaan Islam) karena hanya ketiga hal itulah yang menjadi kewenangan BSNP.Sebenarnya pertemuan kali ini adalah untuk kali keempatnya setelah BSNP menyarankan sebelum dikeluarkannya rekomendasi terhadap ketiga point diatas maka harus diadakan uji publik terlebih dahulu, inilah latar belakang adanya uji publik kali ini, lanjut H. Mahmud. (pip)


sumber : http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=219&Itemid=36

10. Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.

Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu: Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa. Tujuan penyerta yaitu untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.

Bentuk Satuan Pendidikan Anak Usia Dini
Menurut Pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bentuk satuan pendidikan anak usia dini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1. Jalur Pendidikan Formal, Terdiri atas Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Atfal. Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Atfal dapat diikuti anak usia lima tahun keatas. Termasuk disini adalah Bustanul Atfal.
2. Jalur Pendidikan Nonformal, Terdiri atas Penitipan Anak, Kelompok Bermain dan Satuan PAUD Sejenis. Kelompok Bermain dapat diikuti anak usia dua tahun keatas, sedangkan Penitipan Anak dan Satuan PAUD Sejenis diikuti anak sejak lahir, atau usia tiga bulan.
3. Jalur Pendidikan Informal, Terdiri atas pendidikan yang diselenggarakan di keluarga dan di lingkungan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah melindungi hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan, meskipun mereka tidak masuk ke lembaga pendidikan anak usia dini, baik formal maupun nonformal.

sumber : http://www.e-smartschool.com/sptPendidikan/Pendas9.asp

9. Membangun Sinergisme dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

ditulis oleh Drs. Harun Al Rasyid, M.si

Ahli psikologi perkembangan, Bredekamp, et all (1997:97) mengungkapkan bahwa pemberian pendidikan pada anak usia dini diakui sebagai periode yang sangat penting dalam membangun sumber daya manusia dan periode ini hanya datang sekali serta tidak dapat diulang lagi, sehingga stimulasi dini yang salah satunya adalah pendidikan mutlak diperlukan.

Lalu, pendidikan yang bagaimanakah yang diperlukan? Tentu saja pendidikan yang tidak sekedar mengejar target kurikulum, atau untuk mengejar keinginan masyarakat/orang tua, seperti kemampuan anak membaca, menulis dan berhitung secara maksimal, tetapi pendidikan yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak.

Pendidikan bagi anak usia dini telah berkembang luas, baik di negara maju maupun di negara yang sedang berkembang. Berbagai macam program pendidikan anak usia dini ini dikembangkan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat. Minat mengembangkan pendidikan anak usia dini sebenarnya bersumber dari lima macam pemikiran yaitu:

1. Meningkatkan tuntutan terhadap pengasuhan anak dari para ibu yang bekerja, yang berasal dari berbagai tingkatan sosial ekonomi
2. Adanya perhatian yang dikaitkan dengan produktivitas, persaingan yang bersifat internasional, permintaan tenaga kerja yang bersifat global, kesempatan kerja yang luas baik bagi wanita maupun bangsa manapun
3. Pandangan bahwa pengasuhan anak sebagai sesuatu kekuatan utama guna membantu para ibu untuk meningkatkan kualitasnya baik sebagai ibu maupun sebagai sumber daya manusia pada umumnya, sehingga dapat bersaing dalam pasar tenaga kerja
4. Adanya hasrat untuk meningkatkan kualitas anak sejak usia dini terutama bagi mereka yang orang tuanya kurang beruntung, antara lain yang kurang mampu memasukkan anak ke taman kanak-kanak Program untuk anak usia dini mempunyai dampak positif yang panjang terhadap peningkatan kualitas perkembangan anak (Mitchell,1989).

Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan bagian integral dalam Sistem Pendidikan Nasional yang saat ini mendapat perhatian cukup besar dari pemerintah. Konsep PAUD merupakan adopsi dari konsep Early Child Care and Education (ECCE) yang juga merupakan bagian dari Early Child Development (ECD). Konsep ini membahas upaya peningkatan kualitas SDM dari sektor “hulu”, sejak anak usia 0 tahun bahkan sejak pra lahir hingga usia 8 tahun.

Teori lama yang merekomendasikan bahwa pendidikan baru dapat dimulai ketika anak telah berusia 7 tahun, kini terbantahkan. Hasil penelitian mutakhir dari para ahli neurologi, psikologi, dan paedagogi menganjurkan pentingnya pendidikan dilakukan sejak anak dilahirkan, bahkan sejak anak masih dalam kandungan ibunya. Justru pada masa-masa awal inilah yang merupakan masa emas (golden age) perkembangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 50% kapabilitas kecerdasan manusia terjadi pada tingkat kanak-kanak pada kurun waktu 4 tahun pertama sejak kelahirannya. Oleh karena itu penanganan anak dengan stimulasi pendidikan pada masa-masa usia tersebut harus optimal. Kemudian, 80% kecerdasan itu terjadi saat anak usia 8 tahun, dan titik kulminasinya terjadi pada saat mereka berusia 18 tahun. Setelah melewati masa perkembangan tersebut, maka berapa pun kapabilitas kecerdasan yang dicapai oleh masing-masing individu, tidak akan meningkat lagi.

Semua aspek perkembangan kecerdasan anak, baik motorik kasar, motorik halus, kemampuan non fisik, dan kemampuan spiritualnya dapat berkembang secara pesat apabila memperoleh stimulasi lingkungan secara cukup. Perkembangan yang terjadi pada masa ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak selanjutnya.

Pola belajar yang diterapkan pada anak dini usia tidaklah sama dengan pola belajar pada anak usia SD ke atas. Untuk itu perlu diperhatikan oleh penyelenggara program pendidikan pada anak usia dini terutama sumber belajar atau tenaga pendidik dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar haruslah mengetahui bagaimana pola belajar pada anak usia dini.

Pola belajar pada anak usia dini haruslah dibangun berdasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan anak secara tepat yang pelaksanaannya dikemas sesuai dengan dunia anak, yaitu bermain. yang merupakan kegiatan rutinitas yang sangat menyenangkan bagi anak, serta melalui bermainlah anak akan belajar.

Lebih lanjut, di dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan dalam tiga jalur, yaitu jalur formal, non formal dan informal.

Pendidikan anak usia dini pada jalur formal antara lain diselenggarakan dalam bentuk taman kanak-kanak, raudlatul athfal, dan sejenisnya, sedangkan pada jalur non formal antara lain taman penitipan anak, kelompok bermain, taman pendidikan Al Quran, sekolah minggu dan sebagainya. Pada jalur informal, pendidikan anak usia dini ditangani langsung oleh keluarga dan lingkungan.

Lembaga pendidikan anak usia dini kini harus mulai menyelaraskan langkah dan memfokuskan perhatian pada anak-anak, bukan sekedar tuntutan masyarakat atau orang tua. Kurikulum dan proses pembelajaran harus diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengah dunia anak-anak. Para pendidiknya harus memiliki mindset tentang anak-anak dan dunianya, yang bukan miniatur orang dewasa. Keistimewaan dan keunikan anak harus mulai dihargai.

Semua lembaga pendidikan anak usia dini mulai berjalan seirama dalam upaya perluasan akses dan peningkatan kualitas pendidikan. Sinergisme perlu dibangun bersama-sama, sehingga seluruh anak usia dini dapat tertangani. Dengan sinergisme ini permasalahan pendidikan anak usia dini akan terasa ringan, karena kita semua memahami bahwa permasalahan di bidang ini amatlah kompleks, mulai dari banyaknya anak-anak dari kelompok masyarakat marginal yang belum terlayani, sulitnya akses karena permasalahan geografis, keterbatasan tenaga dari segi kualitas dan kuantitas, kurangnya fasilitas, sarana, prasarana dan sebagainya.

Lalu, bagaimana cara membangun sinergisme? Semua pihak harus duduk bersama-sama dan membahas satu kepentingan, yaitu anak, bukan yang lainnya. Ego sektoral dan kepentingan harus dikesampingkan. Semua harus kembali pada anak-anak dan undang-undang yang telah mengaturnya. Sinergisme hanya dapat dibangun ketika semua pihak menyadari bahwa tidak mungkin permasalahan pendidikan anak usia dini dapat ditangani sendiri-sendiri.

Bentuk-bentuk sinergi yang dapat dilakukakan antara lain :

1. Sharing dalam sumber daya manusia
2. Sharing dalam konsep dan pemikiran, misalnya pengembangan model pembelajaran di PAUD, pengembangan APE, dan yang sejenisnya
3. Sharing pendanaan kegiatan
4. Sharing waktu dan tempat penyelenggaraan kegiatan, dan sebagainya

Bentuk-bentuk sinergi ini disesuaikan dengan kondisi masing-masing mitra yang saling bekerjasama.

Sumber : http://www.bpplsp-reg4.go.id/index.php?option=com_content&

8. Memahami Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah salah satu upaya pembinaan yangditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Tujuan PAUD adalah membantu mengembangkan seluruh potensi dan kemampuan fisik, intelektual, emosional, moral dan agama secra optimal dlam lingkungan pendidikan yang kondusif, demokratis dan kompetitif.


LANDASAN YURIDIS
Pembukaan UUD 1945 ; ‘Salah satu tujuan kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.’
Amandemen UUD 1945 pasal 28 C
’Setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.’
3. UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 9 ayat (1)
’Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minta dan bakat.’
4. UU No 20/2003 pasal 28
1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non formal, dan/atau informal.
3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan non formal berbentuk kelompok bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
5) Pendidikan anak usia dini pada jalur informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

sumber : http://qeeasyifa.multiply.com/journal/item/61/MEMAHAMI_PENDIDIKAN_ANAK_USIA_DINI

7. Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini

Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif maupun sosialnya. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 50% kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berumur 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika anak berumur sekitar 18 tahun (Direktorat PAUD, 2004). Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Sehingga periode emas ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangnya. Untuk itu pendidikan untuk usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.


Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan panduan stimulasi dalam program Bina Keluarga Balita (BKB) sejak tahun 1980, namun implementasinya belum memasyarakat. Hasil penelitian Herawati (2002) di Bogor menemukan bahwa dari 265 keluarga yang diteliti, hanya terdapat 15% yang mengetahui program BKB. Faktor penentu lain dari kurang memasyarakatnya program BKB adalah rendahnya tingkat partisipasi orang tua. Kemudian pada tahun 2001, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda mengeluarkan program PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Namun keberadaan program tersebut sampai saat ini belum menjangkau tingkat pedesaan secara merata, sehingga belum dapat diakses langsung oleh masyarakat.
Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang sangat mendasar dan strategis dalam pembangunan sumberdaya manusia. Tidak mengherankan apabila banyak negara menaruh perhatian yang sangat besar terhadap penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Di Indonesia sesuai pasal 28 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia telah ditempatkan sejajar dengan pendidikan lainnya. Bahkan pada puncak acara peringatan Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli 2003, Presiden Republik Indonesia telah mencanangkan pelaksanaan pendidikan anak usia dini di seluruh Indonesia demi kepentingan terbaik anak Indonesia (Direktorat PAUD, 2004).


sumber : http://eldiina.com/index.php?option=com_content&task=view&id=29&Itemid=9

7. Pemkab Diminta Perhatikan Sarana Pendidikan Informal

Tokoh masyarakat Kabupaten Sijunjung, Zulhendri Hasan, SH.MH, meminta Pemkab Sijunjung untuk lebih memperhatikan lagi sektor pendidikan informal, seperti meningkatan sarana dan prasarana surau yang selama ini telah jadi basis pendidikan bagi orang Minangkabau. “Dari surau itu dulunyanya telah banyak lahir tokoh-tokoh Minangkabau yang bertaraf Nasional dan Internasional, karena itu surau tak dapat dianggap remeh begitu saja fungsi. Sebab eksistensi dan fungsinya dalam membentuk sikap, mental dan kepribadian orang Minangkabau sudah terlihat nyata,” katanya. Ia sangat setuju dengan program kembali ke surau yang telah dicanangkan Pemkab Sijunjung, namun hal itu juga harus dibarengi dengan peningkatan sarana dan prasarana yang memadai, agar para santri merasa lebih nyaman untuk belajar menuntut ilmu agama. Ia pun tak menampik, selama ini Pemkab telah berupaya meningkatkan mutu kualitas pendidikan keagamaan di surau melalui berbagai bantuan yang diberikan, seperti bantuan untuk guru mengaji. Tapi ia juga merasa prihatin, karena dibeberapa nagari masih ada masyarakat yang melaksanakan pembangunan surau dengan hanya mengandalkan swadaya, sementara kehidupan masyarakat itu sendiri masih terbilang sulit.


“Hal inilah yang perlu menjadi perhatian bersama, termasuk pemerintah daerah. Kita menggembar-gemborkan kembali ke surau, tapi tolong perhatikan juga sarana penunjangnya,” harapnya. Menurut putra asli Muaro Bodi, yang saat ini juga tercatat sebagai Caleg DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), di era globalisasi sekarang keberadaan surau memang sangat tepat sekali, terutama dalam mendidikan mental generasi muda agar tidak terjerumus dalam hal-hal negatif, yang disebabkan pengaruh kemajuan zaman. Andai saja generasi muda Minang tidak dibentengi dirinya dengan ilmu agama yang kuat, maka dikhwatirnya suatu saat jati diri orang Minang, yang terkenal dengan agama dan adat istiadatnya yang kuat, akan hilang terlindas perkembangan zaman. “Makanya kita juga berharap kepada masyarakat di setiap pelosok nagari, untuk menghidupkan surau kembali, dan jadikanlah surau itu sebagai basis pendidikan anak-anak kita, kita saja sebagai sarana untuk mengaji, tapi juga untuk memberikan pendidikan adat yang berlaku di nagari, agar mereka mengerti dan tahu dengan dengan seluk beluk adat Minangkabau ini,” harapnya.


sumber : http://www.antara-sumbar.com/id/index.php?mod=berita&d=18&id=16549

6. Menakertrans: Pendidikan Informal Tak Tersentuh, Anggaran 20 Persen Timpang

(Jakarta) - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) menilai alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen ada ketimpangan. Pasalnya, seluruh dana tersebut hanya dikucurkan pada sektor pendidikan formal, padahal pendidikan tidak serta merta ada di struktur formal.

"Semangatnya UUD 1945, 20 persen alokasi anggaran diterjemahkan untuk pendidikan, jadi sepenuhnya untuk depdiknas. Padahal struktur pendidikan ada formal, informal dan non formal," jelas Erman pada wartawan dalam Rakor Nasional Depnakertrans tahun 2008 di Jakarta, Selasa (26/8).

Menteri menguraikan, untuk pendidikan formal memang menjadi tanggung jawab departemen pendidikan nasional, sedangkan informal ada di depnakertrans. "Dan untuk sektor pendidikan nonformal biasanya ada di masyarakat," ujarnya.
Untuk itu, lanjutnya, sektor pendidikan yang perlu dibantu adalah pendidikan informal. Misalnya, ada pelatihan untuk pengangguran, tapi dananya tidak ada yang dialokasikan untuk pendidikan semacam ini. Kemudian, ada sekelompok masyarakat yang ingin mengadakan pelatihan jurnalistik profesional, anggaran dana juga tidak ada.

Jika semua anggaran 20 persen hanya dialokasikan untuk depdiknas, Erman menegaskan, "Itu artinya politik anggaran UUD 1945 tidaklah tepat," tandasnya.

sumber : http://www.indonesiaontime.com/humaniora/pendidikan/17-pendidikan/5833-menakertrans-pendidikan-informal-tak-tersentuh-anggaran-20-persen-timpang.html

6. PAUD Menyongsong Kualitas Anak Masa Depan

Pada Undang-Undang Khusus yang mengatur tentang anak yaitu dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 53 ayat (1): Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu, anak telantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.

Implikasi undang-undang itu adalah anak dari keluarga tidak mampu akan mendapatkan biaya pendidikan secara cuma-cuma dari pemerintah. Permasalahannya, bagaimana pemerintah menyosialisasikan dan membuat masyarakat mudah mengaksesnya.

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sedang digalakkan di berbagai tempat di wilayah Indonesia. Pendidikan anak memang harus dimulai sejak dini, agar anak bisa mengembangkan potensinya secara optimal. Anak-anak yang mengikuti PAUD menjadi lebih mandiri, disiplin, dan mudah diarahkan untuk menyerap ilmu pengetahuan secara optimal.

Itulah yang saya alami sebagai guru Madrasah Ibtidaiyah atau sekolah yang setara dengan sekolah dasar di ujung UTara Kabupaten Magelang karena kebetulan saya mengampu kelas satu.Siswa yang sebelumnya memperoleh PAUD akan sangat berbeda dengan siswa yang sama sekali tidak tersentuh PAUD baik informal maupun nonformal. Ibarat jalan masuk menuju pendidikan dasar, PAUD memuluskan jalan itu sehingga anak menjadi lebih mandiri, lebih disiplin, dan lebih mudah mengembangkan kecerdasan majemuk anak.

Fenomena yang terjadi di Kabupaten Magelang mulai tahun ajaran baru 2007-2008 pemerintah memperbolehkan anak masuk SD tanpa melalui TK. Anjuran tersebut harus dipertimbangkan lagi jika pemerintah ingin menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Dari hasil observasi di beberapa MI dan SD, tingkat drop out siswa SD yang tidak melalui TK lebih tinggi daripada siswa yang melalui TK. Pemerintah harus memikirkan akibat yang ditimbulkan. Kesenjangan pasti terjadi.

Pemerintah harus lebih tanggap pada fenomena tersebut, karena dengan memperbolehkan anak masuk SD tanpa melalui TK berarti telah mengabaikan suatu pendidikan di usia dini yang paling dasar bagi anak. Konsep bermain sambil belajar serta belajar sambil bermain pada PAUD merupakan pondasi yang mengarahkan anak pada pengembangan kemampuan yang lebih beragam. Kebijakan pemerintah kabupaten akan ikut menentukan nasib anak serta kualitas anak di masa depan.

Masa depan yang berkualitas tidak datang dengan tiba-tiba, oleh karena itu lewat PAUD kita pasang pondasi yang kuat agar di kemudian hari anak bisa berdiri kokoh dan menjadi sosok manusia yang berkualitas.

Di samping pemerintah, masyarakat adalah komunitas yang sangat berperan untuk mengembangkan PAUD. Jika kendalanya masalah biaya, masyarakat dalam hal ini lembaga penyelenggara PAUD bisa menyiasatinya dengan mereduksi biaya melalui kreativitas membuat alat peraga sendiri, menghilangkan kewajiban seragam, serta memenuhi gizi anak-anak PAUD melalui program pemerintah.

Alternatif lain PAUD bisa diselenggarakan oleh kelompok perempuan di masyarakat, dengan membekali diri melalui pelatihan PAUD (banyak organisasi/LSM yang bersedia mmeberikan pelatihan cuma-cuma). Mereka bisa bergantian menjadi pendamping anak-anak pada PAUD. Tentu saja untuk menerapkan ide ini diperlukan inisiasi pemerintah untuk menyosialisasikan serta memberdayakan masyarakat terutama di daerah terpencil.

PAUD nonformal khusus seperti Taman Pendidikan Alquran juga bisa diintegrasikan dengan PAUD umum yang bertujuan mengoptimalkan pengembangan kecerdasan majemuk anak.

Kita bisa memulainya dari mana saja terutama dari diri kita masing-masing. Berikanlah yang terbaik buat anak untuk menyongsong masa depannya, masa depan anak Indonesia yang cemerlang.

Sumber: http://warnadunia.com/artikel-pendidikan-paud-menyongsong-kualitas-anak-masa-depan/

10. Pendidikan Nonformal Gratis untuk Anak Putus Sekolah

JAKARTA, SENIN - Tingginya angka putus sekolah, banyaknya anak jalanan dan anak terlantar di Indonesia membuat banyak pihak prihatin, tak terkecuali Yayasan Pendidikan Indonesia-Amerika (Indonesian-American Education Foundation) di Jakarta atau di singkat Jakarta IAEF. Jakarta IAEF akan membangun gedung dan memberikan pendidikan nonformal gratis buat anak-anak tersebut.

Demikian diungkapkan Ketua Jakarta IAEF Daniel Dhakidae, Ketua Pembina Jakarta IAEF Azyumardi Azra, anggota Pembina IAEF Jakarta Aristides Katoppo, dan President Dallas IAEF Henny Hughes, kepada pers Senin (27/10) di Jakarta. "Idenya membangun suatu yayasan untuk kepentingan pendidikan, terutama untuk anak-anak putus sekolah, anak jalanan dan anak terlantar. Mereka akan ditampung, dididik dan dilatih hingga mampu berdiri sendiri menopang kehidupannya, tanpa mengeluarkan biaya," kata Daniel Dhakidae.

Bagi mereka sudah lulus dan menguasai keterampilan sesuai bidang yang diminatinya, maka mereka akan disalurkan bekerja di luar negeri dengan jejaring yang dibangun, misalnya di Timur Tengah, Malaysia, termasuk Amerika sendiri. Sejumlah duta besar sudah dikontak dan mendukung program ini. Namun, Jakarta IAEF bukanlah lembaga pengerah jasa tenaga kerja yang mendapatkan fee.

Azyumardi Azra mengatakan, yayasan pendidikan ini dibuat sebagai jembatan budaya kedua negara, Indonesia-Amerika. "Yayasan Pendidikan Indonesia Amerika ini lebih dari soal pendidikan, tapi juga pertukaran budaya, sehingga dengan ini mereka bisa mengetahui dan menghayati, dan saling menghargai kebudayaan masing-masing," katanya.

Karena itu, untuk mendukung ini, Aristides Katoppo berharap banyak pihak, apakah pribadi atau perusahaan yang peduli pendidikan anak-anak bangsa yang terlupakan ini, untuk membantu mewujudkan pembangunan gedung Learning Center, tempat mereka membekali diri dengan berbagai keterampilan untuk berkarya.

"Tanggal 11 Desember 2008, akan digelar malam dana bertajuk We are the Forgotten Children of Indonesia di Balai Sarbini. Diharapkan masyarakat mau menyumbang, bersimpati, dan memberikan solidaritas dan kebersamaan," ujarnya.

Henny Hughes menambahkan, gagasan ini berdasarkan investigasi dua tahun lalu. Untuk membawa anak-anak itu kembali belajar, motivasinya harus dari diri mereka sendiri. Keinginan belajar dari mereka itu harus kuat.

Membawa mereka kembali belajar bukanlah hal yang mudah, akan tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil karena pengaruh kehidupan liar di luar rumah telah merubah pola pikir mereka. "Untuk itu dibutuhkan metode khusus, praktis dengan bahasa yang sederhana dan berbagai variasi sistem penyampaian, misalnya melibatkan audio-visual agar lebih mudah dipahami, sehingga membuat belajar sebagai bagian dari aktivitas yang menyenangkan dan menjadi suatu kebutuhan," jelasnya.

Menurut Henny, pendidikan nonformal di Learning Center bisa menampung 400 anak. Walaupun yang menjadi target sementara adalah mereka yang putus sekolah dan yang memasuki usia dewasa atau 17 tahun ke atas, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu maka Learning Center juga akan dapat menampung berbagai tingkatan, termasuk anak-anak setingkat SD hingga universitas. Bahkan, akan menjangkau setiap warga yang ingin meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya.

Learning Center yang didesain oleh Fakultas Teknik Jurusan Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti, untuk tahap awal selain memiliki fasilitas belajar-mengajar dan training juga memiliki sejumlah fasilitas olahraga. Bangunan tiga lantai seluas lebih kurang 2.000 meter persegi di atas tanah seluas 3.000 meter persegi itu, rencananya akan dilaksanakan pada awal tahun 2009 dan diharapkan akan dapat dioperasikan pada pertengahan tahun 2010.

Sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008

9. Hadirnya Lembaga Pendidikan Non Formal, Suatu Upaya Membuka Ruang Kesadaran Baru

Carut-marut dunia pendidikan Indonesia, sungguh tampil sebagai suatu realitas yang sangat memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan yang tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas secara signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai orientasi pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai.

Ironisnya, disaat beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan bahwa ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas, tentu menimbulkan berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas pendidikan.

Parahnya lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan formal tidak memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Menanggapi kondisi yang seperti ini, Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan perguruan tinggi.

Dihadapkan pada kompleksnya situasi seperti yang dijabarkan diatas, kini banyak lembaga pendidikan non formal berupaya menempatkan diri sebagai alternatif solusi permasalahan diatas. Dengan tawaran sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan.

Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek.

Fleksibilitas waktu

Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut.

Tidak hanya itu, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan non formal seperti ADTC dan Macell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut dipertimbangkan ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini.

Antonius Sumarno selaku Branch Manager English Language Training International (ELTI) Yogyakarta, juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan non formal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua referensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan.

Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan non formal yang tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun juga membekali sikap kemandirian yang mendorong terciptanya kesempatan untuk berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan.

Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah keterampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini kita geluti.

Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar investasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani "terhenti di tengah jalan".

sumber : http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0701/15/jogja/1032730.htm

8. Pendidikan Non Formal Sebagai Alternatif

Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Konsep awal dari PNF ini muncul sekitar akhir tahun 60-an hingga awal tahun 70-an. Philip Coombs dan Manzoor A., P.H. (1985) dalam bukunya The World Crisis In Education mengungkapkan pendidikan itu pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis, yakni Pendidikan Formal (PF), Pendidikan Non Formal (PNF) dan Pendidikan In Formal (PIF). Khusus untuk PNF, Coombs mengartikannya sebagai sebuah kegiatan yang diorganisasikan diluar sistem persekolahan yang mapan, apakah dilakukan secara terpisah atau bagian terpenting dari kegiatan yang lebih luas dilakukan secara sengaja untuk melayani anak didik tertentu untuk mencapai tujuan belajarnya.

Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Sedangkan mandat PNF Indonesia tahun 2005-2009 adalah menurunkan buta huruf hingga 5% tahun 2009, meningkatkan akses PAUD ± 40% dengan mutu yang baik, meningkatkan akses pendidikan kesetaraan (25% DO SD dan 50% lulus SD dan DO SMP), meningkatkan akses pendidikan berkelanjutan yang berorientasi pada life skills, untuk sekitar 5% lulus SMP tidak lanjut dan DO SMU dan lulus SMU tidak lanjut. Meningkatkan kemampuan lembaga UPT/UPTD dan satuan-satuan PNF (Kursus, Kelompok Belajar, PKBM dan dan satuan yang sejenis), meningkatkan jumlah dan mutu tenaga pendidik dan kependidikan PNF, meningkatkan Good Governance.

Menurut DR. M. Syukri, MPd, pakar Pendidikan Non Formal dari FKIP Universitas Tanjungpura, Pontianak, penekanan kebijakan pada PNF sesungguhnya dilandasi oleh dua alasan pokok. Pertama, mengatasi kelemahan pendidikan sekolah (pendidikan formal), dimana pendidikan formal dinilai tidak cukup memenuhi pemenuhan peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan serta keterampilan. Kedua, terjadinya kecendrungan global yang menuntut dilakukannya peningkatan SDM yang dilakukan secara cepat dan efektif. Upaya ini hanya mungkin dilakukan apabila masyarakat yang masih buta huruf dituntaskan programnya dan pendidikan berkelanjutan terus diupayakan.

Pendidikan non formal menjadi sebuah solusi ditengah merosotnya kualitas lulusan sekolah formal. Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan perguruan tinggi.

Hadirnya pendidikan non formal merupakan upaya dan solusi persoalan-persoalan yang tidak terakomodir dilembaga pendidikan formal. Dengan tawaran sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan terutama dunia kerja.

Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek.

Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut.

Dibentuknya sekolah non formal sebagai alternatif tempat belajar baik oleh pemerintah maupun swasta ternyata belum tersosialisasi dengan baik kepada masyarakat. beberapa bentuk sekolah non formal yang bermitra dengan pemerintah adalah program rintisan penyelenggaraan kelompok belajar kesetaraan, rintisan program PAUD, penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional, program pasca melek aksara, yaitu program yang bertujuan mempertahankan dan meningkatkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung (Calistung) dengan mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Program mata pencaharian, yaitu program yang diarahkan untuk meningkatkan ketrampilan bekerja secara berkelompok melalui Kelompok Belajar Usaha, juga ada program peningkatan kualitas hidup, yang termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan pendidikan ketrampilan hidup (life skills) yang diutamakan bagi mereka yang masih belum memiliki pekerjaan agar bisa membuka lapangan kerja secara mandiri. Kemudian belakangan kita juga sering mendengar home shooling sebagai sarana pendidikan bagi anak yang tidak mau sekolah formal baik dalam diselenggarakan oleh orang tua tunggal maupun majemuk ini masuk kedalam kelompok sekolah informal. Lahir juga sekolah alam dibeberapa tempat yang dikelola secara lebih kreatif dan inovatif dalam rangka membentuk anak-anak lebih peka terhadap alam dan kondisi sosial sejak lebih dini.

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo pernah mengatakan anggaran untuk pendidikan dasar non-formal terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan tahun 2008 pemerintah telah menyiapkan dana Rp2,5 triliun. Pada tahun 2005 anggaran sektor ini hanya Rp1,4 triliun, lalu naik di tahun 2006 jadi Rp2,1 triliun, dan tahun 2007 Rp2,4 triliun.

Sekolah non formal yang didirikan oleh swasta juga berorientasi pada peningkatan kemampuan anak bangsa baik dalam bentuk persiapan dunia kerja maupun juga peningkatan kemampuan akademis yang sekolah. Seperti banyak siswa yang mengandengkan pendidikan formal dengan nonformal seperti kursus bahasa inggris, les matematika, fisika dan lain-lain. Apalagi minat ikut les akan semakin meningkat ketika akan menghadapi uijan nasional (UN). Karena ada semacam pemahaman bahwa yang didapatkan dari guru disekolah tidak begitu cukup untuk dijadikan senjata menghadapi ujian akhir sekolah tersebut.

Sumatera Barat Intellectual Society (SIS) sebagai sebuah lembaga kajian intelektual muda Sumbar mencoba mencermati fenomena ini dengan melakukan survey tentang budaya les dikalangan pelajar SLTA se-derajat di Kota Padang. Survey ini adalah survey lapangan yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan realitas lapangan secara apa adanya. Survey ditujukan pada 100 orang pelajar SLTA se-derajat dengan teknik pengambilan sampel secara random (acak).

Hasilnya, dari total 100 orang responden, sebanyak 74 responden menjawab pernah mengikuti les/kursus, 26 responden tidak pernah. Dari total responden yang mengikuti les, sebanyak 32% mulai mengikuti les sejak SD, 53% responden mulai mengikuti les sejak SLTP, dan 15% responden mulai mengikuti les sejak SLTA. Mengenai tempat mereka mengikuti les, mayoritas responden (65%) mengikuti les di lembaga-lembaga les/ kursus (lembaga pendidikan non-formal), 16% responden ikut les di sekolah, 15% responden les di di rumah guru mereka, dan ada 4% responden yang sengaja mendatangkan guru les ke rumah mereka.

Umumnya responden mengikuti les untuk mengatasi mengatasi kesulitan belajar di sekolah dengan persentase sebesar 58%, sementara sebanyak 39% responden menyatakan ikut les sebagai persiapan menghadapi Ujian Akhir Nasional. Disinggung tentang besarnya biaya les mereka, sebanyak 45% responden mengaku biaya les mereka perbulan lebih dari 100 ribu rupiah, 38% responden mengeluarkan biaya antara 50-100 ribu rupiah per bulan, dan sekitar 18% responden menyatakan biaya les mereka perbulan dibawah 50 ribu rupiah.

Ketika ditanya apakah dengan mengikuti les responden meningkat prestasi belajar, mayoritas responden (82%) menjawab prestasinya meningkat, hanya 18% responden yang menyatakan les tidak membantu meningkatkan prestasi belajar mereka. Kepada mereka juga ditanyakan, seandainya mereka tidak mengikuti les apakah mereka yakin mampu menjawab soal ulangan di sekolah? Sebanyak 54% responden justru yakin bisa menyelesaikan soal-soal ulangan disekolah dengan baik meski tidak mengikuti les, sementara 43% lainnya menjawab tidak yakin bisa menjawabnya jika tidak ikut les. Data ini melihatkan bahwa belajar bangku sekolah saja tidak cukup membuat peserta didik percaya diri menghadapi ujian akhir.

Sumber: http://padang-today.com